Telah diyakini dengan haqqul yakin dan dapat dipahami dengan mudah oleh umat islam, bahwa Rasulullah SAW adalah manusia yang amat mulia akhlaqnya, bahwa Rasul SAW adalah manusia yang maksum, terbebas dari salah. Dan bahwa Rasulullah telah dijamin masuk surga. Oleh karenanya, jikalau ummatnya juga ingin memiliki akhlaq yang mulia, ingin menjalani hidup ini dengan baik dan benar (meski tak mungkin sampai pada derajat maksum), dan kalau berharap kelak Allah SWT memasukkannya ke dalam jannah. Caranya tidak lain tidak bukan adalah dengan meneladani segala tindak-tanduk beliau SAW. Allah SWT telah berfirman, yang artinya :”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (QS.Al Ahzab : 21). Kata “meneladani” segala tindak-tanduk beliau SAW itulah yang dimaksud dalam perintah untuk mengikuti As-sunnah. Logika dari penjelasan seperti ini mengandung kebenaran dan masul akal, yang mana pada akhirnya akan mengantarkan pada pemahaman, bahwa mengikuti as-sunnah itu sangat sangat penting, dan merupakan perintah dari Allah SWT.
Dari fakta-fakta sejarah, umat ini dapat mengetahui bahwa para khulafa’ rashidin, para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, adalah golongan manusia yang mulia, bahkan Allah SWT telah memuji sebagian dari mereka dengan kalimat, yg artinya : ”Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”. (QS.At Taubah : 100).
Mereka telah menapaki jalan yang benar, sebagaimana dicontohkan Sang Suri Tauladan SAW. Bahkan untuk mencari solusi berbagai permasalahan dalam menjalani kehidupan di dunia mereka sangat khawatir kalau sampai menyelisihi manhaj sebagaimana yang telah dituntunkan Rasulullah. Mereka adalah golongan manusia-manusia yg sangat wara’, senantiasa berittiba’ kepada rasulullah SAW. Hingga Rasul pun seakan mengingatkan kepada umat-umat penerusnya “Kalau tidak mampu, dan pasti tak akan mampu, mengikuti tindak-tanduk percis sebagaimana yang telah aku contohkan, maka tirulah mereka itu”. Hal ini termaktub dalam sebuah sabda beliau SAW yang sangat masyhur, yang artinya , “Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Shahabat), kemudian yang sesudahnya, kemudian yang sesudahnya. Setelah itu akan datang suatu kaum yang persaksian salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya.” 1] Dalam hadits ini Rasul SAW memberitahukan perihal kebaikan mereka, yang merupakan sebaik-baik manusia serta keutamaannya. Perkataan ‘sebaik-baik manusia’ yaitu tentang ‘aqidahnya, manhajnya, akhlaqnya, dakwahnya dan lain-lainnya.
Tercatat pula perihal kemuliaan para sahabat ini dalam sebuah hadits lain, yang artinya, “Dari Ibnu Mas’ud r.a. :“Sesungguhnya Allah melihat hati hamba-hamba-Nya dan Allah mendapati hati Nabi Muhammad SAW adalah sebaik-baik hati manusia, maka Allah pilih Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya. Allah memberikan risalah kepadanya, kemudian Allah melihat dari seluruh hati hambah-hamba-Nya setelah nabi-Nya SAW, maka didapati bahwa hati para Shahabat merupakan hati yang paling baik sesudahnya, maka Allah jadikan mereka sebagai pendamping Nabi SAW yang mana mereka berperang atas agama-Nya. Apa yang dipandang kaum Muslimin (para Shahabat Rasul) itu baik, maka itu baik pula di sisi Allah dan apa yang mereka (para Shahabat Rasul) pandang jelek, maka jelak di sisi Allah”. 2]
Logika dari penjelasan di atas juga akan mengantarkan kita pada sebuah kesimpulan, bahwa mengikuti as-sunnah dan meneladani para sahabat itu sangat penting, tak dapat diabaikan !.
Di sisi lain, ada seorang bernama Mohamad Shahrour, dia seorang muslim, dan karena kecerdasan otaknya maka oleh guru-gurunya dia dinilai mahir dan profesional, bahkan berhak atas gelar Prof.Dr. untuk bidang Penelitian Al Qur’an.
Padahal yg namanya Mohammad Shahrour ini adalah seorang tidak mempercayai hadits dan tidak memerlukan teladan para sahabat. Dalam sebuah wawancaranya dengan majalah Ummat edisi No. 4 Thn. IV, Rabiul Akhir 1419 H. Dia berkata :”Sunnah adalah mengikuti Nabi Muhammad dan mengikuti mazhabnya. Dia (rasulullah –red) menginterpretasikan Al-Qur’an dan untuk orang-orang Arab pada abad tujuh Masehi. Kita harus melakukan interpretasi itu untuk masa sekarang. Bukan untuk meniru apa yang beliau katakan, bukan untuk meniru apa yang beliau interpretasikan untuk dirinya sendiri dan dunia Arab pada saat itu. Kita harus melakukannya untuk diri kita sekarang. Sunnah adalah metode, bukan verbal. Sunnah adalah metode Nabi Muhammad dalam menghadapi dunia Arab pada abad ketujuh dengan sukses. Kita harus mengikuti jalannya, metodologinya, bukan kata-katanya. Kita tidak memerlukan hadits. Saya menolak hadits, tapi tidak menolak Sunnah. Menurut ilmu ushul fiqh, hadits adalah Sunnah. Menurut saya, hadits bukanlah sunnah. Dan Ijma’ berarti referendum, namun bukan referendum para sahabat Nabi. Kita tidak ada hubungannya dengan Abu Bakar dan Umar, atau sahabat Nabi lainnya. Kita berhubungan dengan ijma’ kita sendiri”.
Bingung ? Kaget ? Heran ?. Bagaimana bisa orang yang pemahamannya begini kacau tentang makna as-sunnah bisa disebut profesional ? kenapa orang yang tidak lagi mempercayai hadits, meski yang shahih, bisa lulus pendidikan dan berhak atas gelar Prof.Dr. ?. Ternyata setelah ditelusuri riwayat pendidikannya, dia adalah lulusan dari sekolah-sekolah di bawah naungan para orientalis. Dia mendapatkan gelar S1 di Rusia dan memperoleh gelar S2 dan S3 –nya di Irlandia. Dan dia adalah salah satu tokoh “Islam” Liberal. Pantas !.
Maka apabila membaca buku-buku karya dia, juga karya kawan-kawannya yang ternyata banyak beredar di Indonesia. Sebisa mungkin kita ketahui terlebih dahulu ri wayat hidup dan riwayat pendidikan penulisnya, karena nama-nama Islami pengarangnya, apalagi diikuti titel-titel kesarjanaan yang tinggi akan mudah menimbulkan kepercayaan bahwa buku-buku semacam itu seakan buku “berkualitas tinggi”. Kalau sekedar untuk mengetahui dan referensi tentu tidak apa-apa, karena akan memperkaya wawasan kita, namun kalau sampai mengikuti manhajnya maka akan sangat fatal akibatnya, karena kelompok mereka, yakni “Islam” Liberal oleh para ulama telah difatwakan sesat dan diharamkan mengikutinya.
Beberapa buku hasil karyanya antara lain : Alkitab wa Alqur’an: Qiraah Mu’asha rah (1990) dan Al-Islam wa al-Imam : Manzumat al-Qiyam (1996), telah mendapat tanggapan serius dari ulama-ulama Timur-tengah, sekitar 15 buku tanggapan telah terbit untuk meluruskannya. Tujuan para ulama ini untuk mengerem, supaya aqidah umat tidak semakin rusak akibat buku-buku semacam karya Shahrour tersebut.
Di sekolah-sekolah pusat pembelajaran hadits, seperti di Madinah, Mekkah, Mesir , Yaman, Qatar, dll. Orang seperti Mohammad Shahrour ini jangankan berhak atas gelar-gelar kesarjanaan, lulus pun tidak !. Dan asal tahu saja, ternyata Mohamad Shahrour sangat bangga dengan titel-titel yang didapat dari almamaternya, yakni sekolah-sekolah di bawah asuhan para orientalis dan missionaris.
Footnote :
1] Al-Bukhari (no. 2652, 3651, 6429, 6658) dan Muslim (no. 2533 (211).
Lihat Limadza Ikhtartu al-Manhajas Salafy (hal. 87)]
2] HR. Ahmad (I/379), dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir (no. 3600).
Lihat Majma’-uz Zawaa-id (I/177-178)
Maraji’ :
– Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah,
Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M
– http://media.isnet.org/v01/islam/Etc/
note : artikel di atas telah dimuat dalam Mukaddimah Labbaik, edisi : 037/th.04/Muharram-Safar 1429H/2008M