Tidak Memerlukan Hadits ?

Mei 26, 2008

Telah diyakini dengan haqqul yakin dan dapat dipahami dengan mudah oleh umat islam, bahwa Rasulullah SAW adalah manusia yang amat mulia akhlaqnya, bahwa Rasul SAW adalah manusia yang maksum, terbebas dari salah. Dan bahwa Rasulullah telah dijamin masuk surga. Oleh karenanya, jikalau ummatnya juga ingin memiliki akhlaq yang mulia, ingin menjalani hidup ini dengan baik dan benar (meski tak mungkin sampai pada derajat maksum), dan kalau berharap kelak Allah SWT memasukkannya ke dalam jannah. Caranya tidak lain tidak bukan adalah dengan meneladani segala tindak-tanduk beliau SAW. Allah SWT telah berfirman, yang artinya :”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (QS.Al Ahzab : 21). Kata “meneladani” segala tindak-tanduk beliau SAW itulah yang dimaksud dalam perintah untuk mengikuti As-sunnah. Logika dari penjelasan seperti ini mengandung kebenaran dan masul akal, yang mana pada akhirnya akan mengantarkan pada pemahaman, bahwa mengikuti as-sunnah itu sangat sangat penting, dan merupakan perintah dari Allah SWT.

Dari fakta-fakta sejarah, umat ini dapat mengetahui bahwa para khulafa’ rashidin, para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, adalah golongan manusia yang mulia, bahkan Allah SWT telah memuji sebagian dari mereka dengan kalimat, yg artinya : ”Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”. (QS.At Taubah : 100).
Mereka telah menapaki jalan yang benar, sebagaimana dicontohkan Sang Suri Tauladan SAW. Bahkan untuk mencari solusi berbagai permasalahan dalam menjalani kehidupan di dunia mereka sangat khawatir kalau sampai menyelisihi manhaj sebagaimana yang telah dituntunkan Rasulullah. Mereka adalah golongan manusia-manusia yg sangat wara’, senantiasa berittiba’ kepada rasulullah SAW. Hingga Rasul pun seakan mengingatkan kepada umat-umat penerusnya “Kalau tidak mampu, dan pasti tak akan mampu, mengikuti tindak-tanduk percis sebagaimana yang telah aku contohkan,  maka tirulah mereka itu”. Hal ini termaktub dalam sebuah sabda beliau SAW yang sangat masyhur, yang artinya , “Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Shahabat), kemudian yang sesudahnya, kemudian yang sesudahnya. Setelah itu akan datang suatu kaum yang persaksian salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya.” 1] Dalam hadits ini Rasul SAW memberitahukan perihal kebaikan mereka, yang merupakan sebaik-baik manusia serta keutamaannya. Perkataan ‘sebaik-baik manusia’  yaitu tentang ‘aqidahnya, manhajnya, akhlaqnya, dakwahnya dan lain-lainnya.

Tercatat pula perihal kemuliaan para sahabat ini dalam sebuah hadits lain, yang artinya, “Dari Ibnu Mas’ud r.a. :“Sesungguhnya Allah melihat hati hamba-hamba-Nya dan Allah mendapati hati Nabi Muhammad SAW adalah sebaik-baik hati manusia, maka Allah pilih Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya. Allah memberikan risalah kepadanya, kemudian Allah melihat dari seluruh hati hambah-hamba-Nya setelah nabi-Nya SAW, maka didapati bahwa hati para Shahabat merupakan hati yang paling baik sesudahnya, maka Allah jadikan mereka sebagai pendamping Nabi SAW yang mana mereka berperang atas agama-Nya. Apa yang dipandang kaum Muslimin (para Shahabat Rasul) itu baik, maka itu baik pula di sisi Allah dan apa yang mereka (para Shahabat Rasul) pandang jelek, maka jelak di sisi Allah”. 2]
Logika dari penjelasan di atas juga akan mengantarkan kita pada sebuah kesimpulan, bahwa mengikuti as-sunnah dan meneladani para sahabat itu sangat penting, tak dapat diabaikan !.

Di sisi lain, ada seorang bernama Mohamad Shahrour, dia seorang muslim, dan karena kecerdasan otaknya maka oleh guru-gurunya dia dinilai mahir dan profesional, bahkan berhak atas gelar Prof.Dr. untuk bidang Penelitian Al Qur’an.
Padahal yg namanya Mohammad Shahrour ini adalah seorang tidak mempercayai hadits dan tidak memerlukan teladan para sahabat. Dalam sebuah wawancaranya dengan majalah Ummat edisi No. 4 Thn. IV, Rabiul Akhir 1419 H. Dia berkata :”Sunnah adalah mengikuti Nabi Muhammad dan mengikuti mazhabnya. Dia (rasulullah –red) menginterpretasikan Al-Qur’an dan untuk orang-orang Arab pada abad tujuh Masehi. Kita harus melakukan interpretasi itu untuk masa sekarang. Bukan untuk meniru apa yang beliau katakan, bukan untuk meniru apa yang beliau interpretasikan untuk dirinya sendiri dan dunia Arab pada saat itu. Kita harus melakukannya untuk diri kita sekarang. Sunnah adalah metode, bukan verbal. Sunnah adalah metode Nabi Muhammad dalam menghadapi dunia Arab pada abad ketujuh dengan sukses. Kita harus mengikuti jalannya, metodologinya, bukan kata-katanya. Kita tidak memerlukan hadits. Saya menolak hadits, tapi tidak menolak Sunnah. Menurut ilmu ushul fiqh, hadits adalah Sunnah. Menurut saya, hadits bukanlah sunnah. Dan Ijma’ berarti referendum, namun bukan referendum para sahabat Nabi. Kita tidak ada hubungannya dengan Abu Bakar dan Umar, atau sahabat Nabi lainnya. Kita berhubungan dengan ijma’ kita sendiri”.

Bingung ? Kaget ? Heran ?. Bagaimana bisa orang yang pemahamannya begini kacau tentang makna as-sunnah bisa disebut profesional ? kenapa orang yang tidak lagi mempercayai hadits, meski yang shahih, bisa lulus pendidikan dan berhak atas gelar Prof.Dr. ?. Ternyata setelah ditelusuri riwayat pendidikannya, dia adalah lulusan dari sekolah-sekolah di bawah naungan para orientalis. Dia mendapatkan gelar S1 di Rusia dan memperoleh gelar S2 dan S3 –nya di Irlandia. Dan dia adalah salah satu tokoh “Islam” Liberal. Pantas !.

Maka apabila membaca buku-buku karya dia, juga karya kawan-kawannya yang ternyata banyak beredar di Indonesia. Sebisa mungkin kita ketahui terlebih dahulu ri wayat hidup dan riwayat pendidikan penulisnya, karena nama-nama Islami pengarangnya, apalagi diikuti titel-titel kesarjanaan yang tinggi akan mudah menimbulkan kepercayaan bahwa buku-buku semacam itu seakan buku “berkualitas tinggi”. Kalau sekedar untuk mengetahui dan referensi tentu tidak apa-apa, karena akan memperkaya wawasan kita, namun kalau sampai mengikuti manhajnya maka akan sangat fatal akibatnya, karena kelompok mereka, yakni “Islam” Liberal oleh para ulama telah difatwakan sesat dan diharamkan mengikutinya.

Beberapa buku hasil karyanya antara lain : Alkitab wa Alqur’an: Qiraah Mu’asha rah (1990) dan Al-Islam wa al-Imam : Manzumat al-Qiyam (1996), telah mendapat tanggapan serius dari ulama-ulama Timur-tengah, sekitar 15 buku tanggapan telah terbit untuk meluruskannya. Tujuan para ulama ini untuk mengerem, supaya aqidah umat tidak semakin rusak akibat buku-buku semacam karya Shahrour tersebut.
Di sekolah-sekolah pusat pembelajaran hadits, seperti di Madinah, Mekkah, Mesir , Yaman, Qatar, dll. Orang seperti Mohammad Shahrour ini jangankan berhak atas gelar-gelar kesarjanaan, lulus pun tidak !. Dan asal tahu saja, ternyata Mohamad Shahrour sangat bangga dengan titel-titel yang didapat dari almamaternya, yakni sekolah-sekolah di bawah asuhan para orientalis dan missionaris.

Footnote :
1] Al-Bukhari (no. 2652, 3651, 6429, 6658) dan Muslim (no. 2533 (211).
Lihat Limadza Ikhtartu al-Manhajas Salafy (hal. 87)]
2] HR. Ahmad (I/379), dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir (no. 3600).
Lihat Majma’-uz Zawaa-id (I/177-178)

Maraji’ :
– Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah,
Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M
http://media.isnet.org/v01/islam/Etc/

note : artikel di atas telah dimuat dalam Mukaddimah Labbaik, edisi : 037/th.04/Muharram-Safar 1429H/2008M


PEDOMAN BERPRODUKSI HALAL UNTUK INDUSTRI, RUMAH POTONG HEWAN (RPH) DAN RESTORAN (bagian : 2)

Mei 21, 2008

Spesifikasi produk, adalah keterangan dari pihak produsen (bukan pemasok) yang menerangkan mengenai produk tersebut, asal-usulnya (bahan baku) cara pembuatan (alur proses) dan segala hal yang menyangkut produk tersebut. Spesifikasi produk berbeda dengan certificate of analysis (COA) yang menunjukkan kandungan bahan yang dianalisa melalui uji laboratorium, seperti kadar air, kadar protein, kadar lemak, dsb. COA ini tidak dapat menunjukkan asal usul bahan tersebut. Produk-produk olahan yang berasal dari tanaman atau bahan kimia perlu memiliki spesifikasi produk, jika tidak ada sertifikat halalnya, untuk mengetahui apakah ada penambahan bahan lain selama proses pembuatannya.

e. Purchase order (PO) atau permintaan barang dari perusahaan kepada pemasok setiap kali akan membeli bahan, perusahaan mengeluarkan purchase order/PO (surat pemesanan barang) kepada pemasok. PO ini harus didokumentasi dan disimpan dalam arsip yang mudah ditelusuri. Dengan demikian akan dapat diketahui setiap pemesanan barang dari waktu ke waktu.

f. Bon pembelian barang dari pemasok kepada perusahaan
Ketika barang yang dipesan dari pemasok sudah datang, maka ada bon pembelian barang atau surat pengiriman barang (Delivery Order/DO) untuk setiap pembelian bahan. DO atau bon pembelian barang ini juga harus disimpan dan diarsip, sehingga dapat diketahui setiap pembelian dan pemasukan barang ke dalam perusahaan. DO ini juga harus cocok dengan PO, baik jenis barang, nama pemasok, merek maupun spesifikasinya.

g. Stok barang di gudang
Setelah barang diperiksa dan dinyatakan lolos oleh bagian Quality Control, maka barang tersebut akan masuk ke dalam gudang. Pihak gudang harus memiliki kartu stok yang memuat daftar stok dan keluar masuknya barang di gudang.

h. Dokumen pengeluaran barang
Setiap pengambilan barang dari gudang ke tempat prosuksi harus dilampiri dengan dokumen pengeluaran barang. Perusahaan harus memiliki dokumen pengeluaran barang tersebut, yang ditanda tangani oleh pihak yang memiliki otoritas untuk mengeluarkan barang tersebut. Artinya semua bahan yang masuk ke ruang proses harus diketahui jenis dan jumlahnya serta tercatat dari waktu ke waktu.

2.2. Bangunan fisik dan mesin produksi
Bangunan fisik yang digunakan dalam proses produksi pangan halal perlu mendapatkan perhatian agar tidak mempengaruhi kehalalan produk yang dihasilkan. Pada prinsipnya bangunan fisik ini dirancang sedemikian rupa agar dapat terhindar dari kontaminasi dan masuknya barang-barang najis atau haram ke dalam produk yang diproduksi.

Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam bangunan fisik ini adalah:

a. Bangunan harus terletak di lokasi yang cukup jauh dari peternakan babi atau hewan yang tidak halal yang dapat mengkontaminasi proses produksi halal
b. Bangunan harus memiliki sistem sanitasi dan fasilitas pembuangan yang dapat menjamin kebersihan produk dari barang yang haram atau najis
c. Bangunan harus memiliki sistem pengamanan dari masuknya binatang haram dan najis di lingkungan pabrik
d. Lingkungan pabrik harus memiliki sumber air yang sehat dan tidak tercemar oleh barang-barang najis dan kotor

Sedangkan mesin dan alat yang digunakan untuk berproduksi haruslah dapat menjamin kehalalan produk yang dihasilkan. Artinya bahwa mesin produksi tersebut harus dapat menghindari terjadinya kontaminasi produk dari bahan-bahan haram atau najis.

Persyaratan bagi mesin dan alat produksi tersebut adalah:
a. Mesin dan alat produksi hanya digunakan untuk memproduksi barang-barang yang halal saja
b. Mesin dan alat produksi harus memiliki sistem yang dapat menjaga produk yang dihasilkan dari bahan-bahan yang najis dan/atau haram
c. Mesin dan alat produksi harus mudah dibersihkan dari kotoran dan najis yang melekat
d. Mesin dan alat produksi harus berasal dari bahan-bahan yang tidak diharamkan (seperti tulang binatang, bulu babi dsb.)

2.3. Sumberdaya Manusia Berkaitan dengan Kehalalan

Selain bangunan, peralatan dan sistem administrasi yang baik, untuk dapat berproduksi halal, perusahaan juga harus didukung oleh sumberdaya manusia yang baik dan mampu menjalankan sistem tersebut. Sumberdaya manusia yang dimaksud adalah orang dari dalam perusahaan itu sendiri yang mengetahui tentang permasalahan halal, mampu menjalankannya dalam pelaksanaan produksi sehari-hari serta bertanggung-jawab kepada pimpinan, masyarakat konsumen dan Allah SWT (selayaknya ditangani karyawan/petugas yang muslim).
Dalam pelaksanaan pedoman berproduksi halal ini dilakukan oleh sebuah tim yang terdiri dari semua level manajemen dalam perusahaan tersebut, mulai dari level tertinggi (pimpinan) sampai kepada level terendah (buruh/karyawan) yang secara bersama-sama menjalankan fungsinya masing-masing untuk mempertahankan kehalalan produk yang dihasilkan. Selain itu pedoman berproduksi halal ini juga melibatkan berbagai departemen, mulai dari bagian penelitian dan pengembangan (R and D), bagian pembelian (purchasing), bagian produksi, bagian gudang, bagian pengawasan mutu (quality control) sampai dengan bagian ekspedisi yang mengantarkan produk ke pelanggan.

Untuk menjalankan pedoman berproduksi halal secara efektif, semua bagian tersebut dikoordinasikan oleh seorang internal halal auditor yang ditunjuk dan diangkat secara resmi oleh manajemen perusahaan melalui surat pengangkatan resmi.

Syarat-syarat internal auditor adalah:
a. Merupakan karyawan perusahaan yang bersangkutan
b. Beragama Islam
c. Memiliki posisi yang memungkinkan untuk melakukan koordinasi pada berbagai bidang (bagian produksi/quality assurance)
d. Mengetahui proses produksi dari awal hingga akhir
e. Memahami aturan-aturan dasar mengenai halal dan haram
f. Mampu dan sanggup menjalankan tugas-tugas sebagai seorang internal halal auditor

Tugas-tugas yang harus dilaksanakan internal halal auditor adalah:
a. Mengkoordinasikan pelaksanaan pedoman berproduksi halal di perusahaan yang bersangkutan
b. Menyusun matriks produk-produk yang dihasilkan, bahan baku, bahan tambahan, bahan penolong dan daftar pemasoknya
c. Bersama dengan bagian lain yang terkait menyusun sistem jaminan halal perusahaan
d. Mensosialisasikan sistem jaminan halal kepada semua bagian yang terkait dengan pelaksanaan berproduksi halal
e. Menjalin komunikasi kepada pihak pemberi sertifikat halal (LPPOM MUI) dalam hal penggantian bahan baku, perubahan proses, penambahan daftar pemasok dll.
f. Membuat laporan berkala yang berisi laporan pelaksanaan produksi halal
g. Bersama dengan bagian lain yang terlibat melakukan monitoring secara internal dalam hal pelaksanaan produksi halal

Selain internal halal auditor, bagian-bagian lain yang terlibat adalah bagian penelitian dan pengembangan (R and D), bagian pembelian (purchasing), bagian produksi, bagian gudang dan bagian pengawasan mutu (quality control).

Tugas dan tanggung jawab untuk masing-masing bagian adalah:

a. Bagian penelitian dan pengembangan
– Memiliki daftar bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong yang telah memiliki dokumen halal
– Memiliki daftar pemasok dan produsen yang menghasilkan produk-produk halal
– Menggunakan bahan-bahan yang telah halal (bersertifikat halal atau memiliki spesifikasi yang dapat diterima) dalam setiap pengembangan produk yang dilakukan
– Melaporkan dan meminta persetujuan kepada internal halal auditor sebelum melakukan pengembangan produk dengan menggunakan bahan di luar daftar yang telah ada
– Membuat laporan berkala kepada internal halal auditor

b. Bagian pembelian
– Memiliki daftar pemasok dan produsen yang menghasilkan produk-produk halal
– Melakukan pembelian dengan mengacu kepada daftar pemasok dan produsen yang telah ada
– Melaporkan dan meminta persetujuan kepada internal halal auditor sebelum melakukan pembelian dari pemasok di luar daftar yang telah ada
– Menolak dan mengembalikan kepada pemasok untuk barang-barang yang tidak halal (tidak sesuai antara dokumen dan fisiknya atau tidak memiliki logo halal untuk barang yang seharusnya ada logo halalnya) yang ditolak oleh bagian quality control
– Membuat laporan berkala kepada internal halal auditor

c. Bagian produksi
– Melaksanakan penyelenggaraan produksi sesuai dengan standard operating procedure (SOP)
– Menjaga proses produksi agar tidak tercemar oleh bahan-bahan haram/najis
– Menjaga para karyawan produksi agar tidak membawa kontaminasi barang haram/najis
– Membuat laporan berkala kepada internal halal auditor

d. Bagian gudang
– Memiliki daftar bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong yang telah memiliki dokumen halal
– Mencatat setiap pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari gudang
– Membuat daftar barang-barang yang disimpan di dalam gudang
– Menjaga dan mengawasi gudang agar tidak tercemar oleh barang-barang yang haram/najis
– Membuat laporan berkala kepada internal halal auditor

e. Bagian pengawasan mutu
– Memiliki daftar bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong yang telah memiliki dokumen halal
– Melakukan pengawasan pada setiap barang yang masuk ke perusahaan, termasuk mengawasi kehalalannya melalui kesesuaian antara dokumen dan kemasan serta meneliti tanda-tanda halal (logo halal) pada kemasan jika harus ada logo halal
– Membuat tanda lolos uji pada barang-barang yang telah diperiksa dan tidak ada penyimpangan kehalalan
– Membuat tanda ditolak pada barang-barang yang telah diperiksa dan ditemukan adanya penyimpangan kehalalan
– Membuat laporan berkala kepada internal halal auditor

(bersambung ke bagian : 3)

note : artikel di atas telah dimuat dalam Labbaik, edisi : 038/th.04/Rabi’ul Awwal-Rabi’ul Tsani 1429H/2008M


PEDOMAN BERPRODUKSI HALAL UNTUK INDUSTRI, RUMAH POTONG HEWAN (RPH) DAN RESTORAN (bagian : 1)

Mei 21, 2008

oleh : Ir. Nurwahid (LPPOM MUI Pusat) dan
Dr. Ir. Anton Apriyantono (Menteri Pertanian)

Masalah kehalalan produk yang diedarkan dan dipasarkan di Indonesia merupakan masalah serius yang perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak, khususnya dari kalangan industri pangan yang memproduksi pangan halal. Secara internal perusahaan perlu menerapkan aturan-aturan yang dapat menjamin kehalalan produk yg dihasilkannya, melalui sebuah pedoman umum yang baku, serta pedoman teknis yang disesuaikan dengan tingkat permasalahan yang dimiliki masing-masing perusahaan.

Pedoman berproduksi halal ini cukup penting sebagai landasan bagi pelaksanaan kegiatan berproduksi, sehingga kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi sebagai mana kasus-kasus yg pernah terjadi di Indonesia (misalnya kasus MSG, Soft Drink dll) tidak terulang lagi. Untuk itu pihak pemerintah bersama dengan lembaga non pemerintah yang terlibat dalam regulasi halal ini perlu memberikan pedoman tersebut sebagai sebuah acuan teknis yang dapat diterapkan pada masing-masing industri pangan.
Pedoman berproduksi halal yang bersifat baku ini juga dapat memberikan kepastian usaha bagi industri pangan, sehingga jika benar-benar mengikuti pedoman tersebut secara konsekuen, maka perusahaan akan lebih mendapatkan kepastian hukum dalam berproduksi, khususnya menyangkut kehalalan. Konsumen yang semakin kritis menuntut produk yang dikonsumsinya benar-benar bersih dari bahan-bahan haram, sehingga kehalalan ini juga harus bersifat transparan dan dapat diuji (auditable).

1. Pedoman Umum Berproduksi Halal
Dalam pedoman umum ini akan disajikan ketentuan umum perusahaan dalam menghasilkan produk halal. Dalam hal ini perusahaan perlu memiliki persyaratan-persyaratan minimal untuk dapat menjamin bahwa produk-produk yang dihasilkannya adalah halal, baik untuk waktu yang lalu, sekarang maupun yang akan datang. Oleh karena itu secara internal perusahaan perlu memiliki perangkat-perangkat untuk menjamin keberlangsungan produksinya secara halal, baik dalam bentuk kebijakan perusaha an, sistem administrasi, perangkat keras, maupun sumberdaya manusia yang memadai guna terselenggaranya sistem produksi halal tersebut.

1.1. Kebijakan Perusahaan dalam Kaitan dengan Kehalalan
Perusahaan perlu memiliki sebuah komitmen yang kuat untuk menghasilkan produk halal. Komitmen perusahaan ini perlu dijabarkan dalam bentuk kebijakan umum perusa haan. Memang tidak ada keharusan bagi perusahaan, baik di dalam negeri (Indonesia) maupun di luar Indonesia untuk menghasilkan produk-produk yang halal saja. Dalam negara yang penduduknya heterogen dari segi keyakinan dan agama ini, keberadaan pangan non halal untuk kalangan non muslim masih tetap dihormati dan di akui keberadaannya. Namun begitu komitmen perusahaan sudah menghendaki untuk mem produksi pangan halal, maka ia terikat dengan ketentuan dan peraturan mengenai kehalalan sesuai dengan aturan yang berlaku dalam Islam.

Kebijakan perusahaan untuk memproduksi pangan halal menuntut konsekuensi-konsekuensi yang harus dipenuhi. Selain itu keputusan tersebut juga mengandung sanksi-sanksi yang akan diterima jika di kemudian hari ditemukan adanya penyimpangan dari aturan main yang telah ditetapkan, sebagaimana telah diatur dalam hukum positif di Indonesia, baik dalam Undang-undang Pangan, Undang-undang Perlindungan Konsumen, maupun dalam peraturan-peraturan di bawahnya (PP dan Kepmen).
Dalam kebijakan perusahaan inipun masih diberikan kebebasan kepada manajemen perusahaan untuk memilih apakah komitmen kehalalan itu menyangkut seluruh produk yg dihasilkan atau hanya sebagian produk saja yg akan diproduksi secara halal.

1.2. Kebijakan untuk Hanya Berproduksi Halal
Sebenarnya kebijakan inilah yang lebih dikehendaki, karena akan lebih aman bagi konsumen dan lebih sederhana penanganannya bagi produsen. Dalam kebijakan tersebut berarti perusahaan hanya akan memproduksi pangan halal saja. Oleh karena itu seluruh bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong yg digunakan adalah halal.
Oleh karena itu tidak perlu lagi adanya pemisahan bahan baku, pemisahan line produksi, pemisahan gudang, pemisahan distribusi dan pemisahan administrasi.

1.3. Kebijakan untuk Berproduksi Halal dan Non Halal
Jika pihak perusahaan memang memiliki pangsa pasar khusus untuk produk-produk non halal, hal itu masih dimungkinkan dengan syarat-syarat tertentu.

Pengertian non halal ini ada dua, yaitu :
a. Produk-produk yang benar-benar haram (seperti daging babi, hewan yang tidak disembelih sesuai aturan Islam, minuman keras dll.)
b. Produk-produk non halal yang tidak jelas kehalalannya, apakah dia benar-benar haram atau syubhat, tetapi tidak didaftarkan atau diklaim sebagai produk halal. Misalnya produk flavor (perasa) untuk rokok, produsen tidak mendaftar dan meng-klaim sebagai produk halal, meskipun kenyataannya bisa halal atau haram. Atau produk yang diekspor ke negara-negara non muslim, dimana konsumennya tidak memerlukan kehalalan, perusahaan bisa menjualnya tanpa klaim halal. Pada kenyataannya produk tersebut bisa halal, bisa haram atau syubhat, tetapi tidak ada kejelasan mengenai hal tersebut.

Untuk pengertian non halal yang pertama, maka pihak produsen harus memenuhi sya rat-syarat sebagai berikut :
a. Merek produk yang halal dan non halal harus berbeda sama sekali
b. Bangunan tempat berproduksi, gudang bahan baku, gudang produk jadi dan sarana transportasi baik untuk bahan baku atau produk jadi harus terpisah
c. Mesin yang digunakan untuk berproduksi harus terpisah
d. Sistem administrasi dan pembelian bahan harus terpisah
e. Harus ada barrier atau daerah pembatas antara pabrik yang digunakan untuk produksi halal dan non halal
f. Karyawan yang bekerja untuk produk halal harus berbeda dengan karyawan yang bekerja untuk produk non halal

Sedangkan jika yang dimaksud produk non halal adalah jenis kedua, maka pihak perusahaan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Merek produk yang halal dan non halal boleh sama, tetapi harus ada ciri khusus yang menunjukkan kehalalannya (logo halal dan/atau logo non halal), yang mudah diketahui oleh konsumen
b. Memiliki daftar seluruh bahan baku, baik untuk produk halal maupun non halal
c. Bahan yang digunakan untuk produk non halal tidak boleh berasal dari bahan-bahan yang jelas haram (babi, minuman keras, dsb)
d. Gudang boleh dalam satu bangunan, tetapi harus terpisah secara fisik dan administrasi dengan tanda-tanda yang mudah dibaca karyawan
e. Tempat produksi harus terpisah, tetapi jika terpaksa jadi satu harus terjadwal dengan baik dan ada proses pembersihan yang sempurna antara batch halal dan non halal
f. Perusahaan memiliki laporan produksi yang menunjukkan kronologi proses produksi, mulai dari penyiapan bahan, penimbangan, pemrosesan sampai pengemasan produk jadi, yang terpisah antara produk halal dan non halal.

Masing-masing kebijakan perusahaan tersebut memiliki konsekuensi dan persyaratan yang berbeda. Setiap kesalahan dan pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat membawa dampak yang besar, baik bagi konsumen maupun bagi produsen sendiri. Oleh karena itu sangat dianjurkan kepada perusahaan di dalam negeri (Indonesia) untuk hanya memproduksi produk-produk yang halal saja, karena resiko kesalahan dan persyaratannya lebih mudah. Selain itu dari segi pasar, konsumen non muslim dapat menerima produk-produk halal, tetapi tidak untuk sebaliknya.

2. Pedoman Berproduksi Halal Bagi Industri

2.1. Sistem Administrasi Perusahaan dalam Mendukung Produksi Halal
Untuk menghasilkan produk pangan yang halal diperlukan persyaratan administrasi yang memadai guna menjamin kehalalan produk yang dihasilkan. Sistem administrasi ini diperlukan karena proses produksi berlangsung terus menerus sepanjang tahun, sementara inspeksi dan pemeriksaan halal secara eksternal hanya dilakukan sesekali waktu saja. Oleh karena itu diperlukan konsistensi dalam pembelian bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong, serta konsistensi dalam sistem berproduksi. Secara administrasi perusahaan harus dapat membuktikan bahwa semua bahan yang masuk ke dalam lingkungan industri itu adalah halal, dengan didukung oleh dokumen-dokumen yang dapat dipertanggung-jawabkan. Oleh karena itu perusahaan harus memiliki :

a. Daftar bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong yang digunakan.
Dalam pembuatan daftar bahan ini harus dituliskan semua, tidak boleh ada yang disembunyikan atau ditutup-tutupi. Bahan baku adalah bahan utama yang digunakan dalam proses produksi. Misalnya untuk industri roti, maka bahan bakunya adalah tepung terigu, lemak (shortening) dll. Bahan tambahan adalah bahan yang ditambahkan dalam proses produksi, yang jumlahnya sedikit. Misalnya untuk industri roti ada ragi (yeast) untuk mengembangkan roti, bahan perasa (flavor) dll.
Bahan penolong adalah bahan-bahan yang tidak masuk dalam ingredient produk, tetapi digunakan dalam proses produksi. Misalnya dalam industri air minum dalam kemasan digunakan bahan penyaring karbon aktif sebagai bahan penolong dalam proses penghilangan bau (deodorizing).
Daftar bahan baku, bahan tambahan dan penolong harus dibuat per produk disamping daftar lengkap untuk keseluruhannya.

b. Daftar pemasok yang menjual bahan-bahan tersebut
Perusahaan harus memiliki daftar pemasok (supplier) untuk masing-masing barang yang dibeli. Dalam hal ini perusahaan harus memasukkan semua pemasok yang ada untuk masing-masing bahan baku, termasuk untuk alternatif pemasok (second supplier).

c. Daftar produsen barang, jika pemasok berbeda dengan produsennya
Kadang-kadang bahan baku yang dipakai dibeli bukan dari produsennya langsung, melainkan kepada perusahaan lain yang bertindak sebagai distributor atau agen. Oleh karena itu selain nama perusahaan pemasok, perusahaan harus memiliki nama produsen yang memproduksi bahan tersebut.

d. Dokumen kehalalan untuk semua bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong.
Setiap barang yang digunakan, baik bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong, harus dilampiri dengan dokumen kehalalan yang valid dan masih berlaku. Dokumen tersebut dapat berupa sertifikat halal dari lembaga yang kredibel dan diakui, atau berupa spesifikasi dan alur proses dari produsen yang menunjukkan bahan baku, asal usul dan cara pembuatannya.
Sertifikat Halal, adalah sertifikat yang menyatakan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh lembaga yang diakui dan kredibel. Khusus untuk Indonesia, lembaga sertifikasi yang diakui adalah Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).
Sedangkan untuk produk-produk dari luar negeri, lembaga sertifikasi yang kredibel dan diakui adalah lembaga yang telah membina hubungan kerja sama dengan pihak Indonesia (MUI). Produk-produk yang mengandung unsur hewani (sapi, ayam, kambing dsb) mutlak harus memiliki sertifikat halal. Demikian juga untuk produk-produk yang kritis dan berasal dari turunan hewan, seperti lemak, gelatin, flavor (perasa) juga harus memiliki sertifikat halal. Sertifikat halal ini memiliki tanggal batas berlakunya. Oleh karena itu perusahaan harus segera meminta sertifikat halal yg baru kepada pihak pemasok/produsen, ketika masa berlakunya sudah habis.

(Bersambung ke bagian 2 …)

note : artikel di atas telah dimuat dalam Labbaik, edisi : 038/th.04/Rabi’ul Awwal-Rabi’ul Tsani 1429H/2008M