Kang Sejo Mencari Tuhan

April 25, 2006

Bukan salah saya kalau suatu hari saya ceramah agama di depan sejumlah mahasiswa Monash yang, satu di antaranya, Islamnya menggebu. Artinya, Islam serba berbau Arab. Jenggot mesti panjang. Ceramah mesti merujuk ayat, atau Hadis. Lauk mesti halal meat. Dan, semangat mesti ditujukan buat meng-Islam-kan orang Australia. Tanpa itu semua jelas tidak Islami. Saya pun dicap tidak Islami. Iman saya campur aduk dengan wayang. Dus, kalau pakai kaca mata Geertz, seislam-islamnya saya, saya ini masih Hindu. Memang salah saya, sebab ketika itu saya main ibarat: Gatutkaca itu sufi. Ia satria-pandita. Tiap saat seperti tidur, padahal berzikir qolbi. Jasad di bumi, roh menemui Tuhan. Ini turu lali, mripat turu, ati tangi: mata tidur hati melek, seperti olah batin dalam dunia kaum sufi. Biar masih muda, hidup Gatutkaca seimbang, satu kaki di dunia satu lagi di akhirat. Mirip Nabi Daud: hari ini puasa, sehari esoknya berbuka. Dan saya pun dibabat …

Juli tahun lalu saya dijuluki Gus Dur sebagai orang yang doanya pendek. Bukan harfiah cuma berdoa sebentar. Maksudnya, tak banyak doa yang saya hafal. Namun, yang tak banyak itu saya amalkan. “Dan itu betul. Artinya, banyak ilmu ndak diamalkan buat apa?” kata Pak Kiai sambil bergolek-golek di Hotel Sriwedari, Yogya. Apa yang lebih indah dalam hidup ini, selain amal yang memperoleh pengakuan Romo Kiai ? Saya merasa hidup jadi kepenak, nikmat.
Dalam deretan Sufi, Al Adawiah disebut “raja.” Wanita ini hamba yang total. Hidupnya buat cinta. Gemerlap dunia tak menarik berkat pesona lain: getaran cinta ilahi. Pernah ia berkata, “Bila Kau ingin menganugerahi aku nikmat duniawi, berikan itu pada musuh-musuh-Mu. Dan bila ingin Kau limpahkan padaku nikmat surgawi, berikanlah pada sahabat-sahabat-Mu. Bagiku, Kau cukup.”
Ini tentu berkat ke-“raja”-annya. Lumrah.
Lain bila itu terjadi pada Kang Sejo. Ia tukang pijit -maaf, Kang, saya sebut itu- tunanetra. Kang Sejo pendek pula doanya. Bahasa Arab ia tak tahu. Doanya bahasa Jawa: Gusti Allah ora sare (Allah tak pernah tidur): potongan ayat Kursi itu. Zikir ia kuat. Soal ruwet apa pun yang dihadapi, wiridannya satu: “Duh, Gus ti, Engkau yang tak pernah tidur …” Cuma itu. “Memang sederhana, wong hidup ini pun dasarnya juga sederhana,” katanya, sambil memijit saya.

Saya tertarik cara hidupnya. Saya belajar. Guru saya ya orang macam ini, antara lain. Rumahnya di Klender. Kantornya, panti pijat itu, di sekitar Blok M. Ketika saya tanya, apa yang dilakukannya di sela memijit, dia bilang,
“Zikir Duh, Gusti …” Di rumah, di jalan, di tempat kerja, di mana pun, doanya ya Duh, Gusti … itu. Satu tapi jelas di tangan.
“Berapa kali Duh Gusti dalam sehari ?” tanya saya.
“Tidak saya hitung.”
“Lho, apa tak ada aturannya ? Para santri kan dituntun kiai, baca ini sekian ribu, itu sekian ribu,” kata saya
“Monggo mawon (ya, terserah saja),” jawabnya. “Tuhan memberi kita rezeki tanpa hitungan, kok. Jadi, ibadah pun tanpa hitungan.”
“Sampeyan itu seperti wali, lo, Kang,” saya memuji.
“Monggo mawon. Ning (tapi) wali murid.” Dia lalu ketawa.
Diam-diam ia sudah naik haji. Langganan lama, seorang pejabat, mentraktirnya ke Tanah Suci tiga tahun yang lalu. ‘Senang sampeyan, Kang, sudah naik haji ?”
“Itu kan rezeki. Dan rezeki datang dari sumber yang tak terduga,” katanya.
“Ayat menyebutkan itu, Kang ?” Tanya saya.
“Monggo mawon. Saya tidak tahu.”
Ketularan bau Arab, saya tanya kenapa doanya bahasa Jawa.
“Apa Tuhan tahunya cuma bahasa Arab ?”
“Kalau sampeyan Dah Duh Gusti di bis apa penumpang lain …”
“Dalam hati, Mas. Tak perlu diucapkan.”

Ia, konon, pernah menolak zakat dari seorang tetangganya. Karena disodor-sodori, ia menyebut, “Duh, Gusti, yang tak pernah tidur…”. Pemberi zakat itu, entah bagaimana, ketakutan. Ia mengaku uang itu memang kurang halal. Ia minta maaf.
“Mengapa sampeyan tahu uang zakat itu haram ?” tanya saya.
“Rumah saya tiba-tiba panas. Panaaaas sekali.”
“Kok sampeyan tahu panas itu akibat si uang haram ?”
“Gusti Allah ora sare, Mas,” jawabnya.

Ya, saya mengerti, Kang Sejo. Ibarat berjalan, kau telah sampai. Dalam kegelapan matamu kau telah melihat-Nya. Dan aku ? Aku masih dalam taraf terpesona. Terus-menerus. ————— (oleh : Mohammad Sobary – Tempo, 12 Januari 1991)

http://www.isnet.org/~media/sufi/Sejo/KangSejo.html

Cincin Zun Nun

Beberapa waktu yang telah berlalu, di Mesir hidup seorang sufi yang tersohor bernama Zun-Nun. Seorang pemuda mendatanginya dan bertanya :”Tuan, saya belum paham mengapa orang seperti Anda mesti berpakaian apa adanya, amat sangat sederhana. Bukankah di zaman kini berpakaian necis amat perlu, bukan hanya untuk penampilan namun juga untuk tujuan banyak hal lain.”
Sang sufi hanya tersenyum, ia lalu melepas cincin dari salah satu jarinya, dan berkata :”Sobat muda, akan kujawab pertanyaanmu, tetapi lebih dahulu lakukan satu hal untukku. Ambillah cincin ini dan bawalah ke pasar di seberang sana. Cobalah, bisakah kamu menjualnya seharga satu keping emas.”  Melihat cincin Zun-Nun yang kotor, pemuda tadi merasa ragu; “Satu keping emas, saya tidak yakin cincin ini bisa dijual seharga itu ?.”
“Cobalah dulu sobat muda, siapa tahu kamu berhasil,” Jawab Zun Nun.
Pemuda itu pun bergegas ke pasar. Ia menawarkan cincin itu kepada pedagang kain, pedagang sayur, penjual daging dan ikan, serta kepada yang lainnya. Ternyata, tak seorang pun berani membeli seharga satu keping emas. Mereka menawarnya hanya satu keping perak. Tentu saja, pemuda itu tak berani menjualnya dengan harga satu keping perak. Ia kembali ke padepokan Zun-Nun dan melapor ;”Tuan, tak seorang pun yang berani menawar lebih dari satu keping perak.”
Zun-Nun, sambil tetap tersenyum arif, berkata, “Sekarang pergilah kamu ke toko emas di belakang jalan ini. Coba perlihatkan kepada pemilik toko atau tukang emas disana. Jangan buka harga, dengarkan saja, bagaimana ia memberi penilaian.”  Pemuda itu pun pergi ke toko emas yang dimaksud.
Tak berapa lama pemuda itu kembali kepada Zun-Nun dengan raut wajah yang lain. Ia kemudian melapor ;”Tuan, ternyata para pedagang di pasar tidak tahu nilai sesungguhnya dari cincin ini. Pedagang emas menawarnya dengan harga seribu keping emas. Rupanya nilai cincin ini seribu kali lebih tinggi daripada yang ditawar oleh para pedagang di pasar.”

Zun-Nun tersenyum simpul sambil berujar lirih ;”Itulah jawaban atas pertanyaanmu tadi sobat muda. Seseorang tak bisa dinilai dari pakaiannya. Hanya ‘Para pedagang sayur, ikan dan daging di pasar’ yang menilai demikian. Namun tidak bagi ‘pedagang emas’. Emas dan permata yang ada dalam diri seseorang, hanya bisa dilihat dan dinilai jika kita mampu melihat ke kedalaman jiwa. Diperlukan kearifan untuk menjenguknya. Dan itu butuh proses wahai sobat mudaku. Kita tak bisa meni lainya hanya dengan tutur kata dan sikap yang kita dengar dan lihat sekilas. Seringkali yang di sangka emas ternyata loyang dan yang kita lihat sebagai loyang ternyata emas.”
 
http://www.kotasantri.com/modules.php?name=Beranda&file=detail&sid=239
note : Al-Hubb Fillah wa Lillah – IKATLAH ILMU DENGAN MENULISKAN DAN MENGAMALKANNYA

note : artikel di atas telah dimuat dalam Labbaik edisi no.015/th.02/Jumada Al Awwal-Jumada Al Tsani 1426H/2005M


Islam Koq Ndak Ekstrem ?

April 25, 2006

Yang bahaya dan ditakuti oleh penguasa bumi ini bukan Kaum Muslimin atau Ummat Islam. Yang kuat dan hebat juga bukan Ummat Islam. Tidak ada yang perlu ditakuti dari Ummat Islam. Biarpun Israel hanya sekabupaten yang bertetangga dengan sepropinsi negara-negara Islam, si kabupaten bisa berbuat apa saja. Jangankan sekedar mengurung Yasser Arafat di dalam metoda Khondaq, jangankan sekedar mengancam dan mengebom Masjidil Aqsha, sedangkan kalaupun Ka’bah di Mekah dan Masjid Nabawi di duduki oleh kumpulan pasukan-pasukan penguasa dunia -akan tidak banyak yang bisa diperbuat oleh Ummat Islam.

Ummat Islam di timur tengah hidup dalam negara-negara suku yang secara ideologis dan sosiologis menyalahi prinsip universalisme (rahmatan lil’alamin) yang merupakan inti ajaran Rasulullah Muhammad saw. Ada kerajaan suku Arab Saudi, kerajaan suku Yordan, Kuwait, dlsb. Para khotib Jum’at selalu menyatakan rasa syukur “Kita panjatkan puja dan puji kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad saw, yang telah membawa kita dari alam jahiliyah menuju alam nur yang terang benderang…”
Kalimat itu belum selesai, karena di ekornya masih ada anak kalimat, “….kemudian sesudah Muhammad tiada, kita kembali ke dunia jahiliyah….”
Ummat Islam Indonesia yang jumlahnya terbesar di dunia juga terbagi dalam berbagai suku dengan fanatisme, kebanggaan dan egosentrismenya masing-masing. Ada suku NU, suku Muhammadiyah, suku darul Arqam, suku PKB dan sub-sukunya, suku PPP dan sub-sukunya, suku PBB, PK dan banyak lagi. Firman Allah “syu’ub wa qaba-il” itu bukan hanya bermakna genekologis atau antropologis – tetapi juga melebar ke berbagai segmentasi sosial yang jumlahnya tak terbilang. Bahkan di dalam suku-suku Ummat Islam terdapat pula sub-suku Yahudi, Nasrani, Sekuler, Kebatinan dan macam-macam lagi – sekurang-kurangnya dalam cara pandang dan pola sikap kesejarahannya. Sungguh mengasyikkan isi dunia ini, dan Ummat Islam di muka bumi seluruhnya atau khusus di Indonesia, dengan modal dasar kebanggaan suku – tidaklah akan mampu berbuat banyak kepada kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Jika kekuatan di luar mereka memusuhinya, Ummat Islam akan kalah, dan jika kekuatan di luar dirinya itu bersahabat dengannya – Ummat Islam akan lebih kalah lagi.
Dan kalau terhadap persepsi saya ini Ummat Islam marah, maka menjadi terbukti bahwa ternyata keadaan mental dan budaya Ummat Islam jauh lebih parah dibanding yang tergambar dalam uraian ini.
***

Yang ditakuti oleh dunia, sekali lagi, bukanlah Ummat Islam, melainkan kebenaran nilai-nilai Islam. Oleh karena itu nanti zaman demi zaman akan berlalu, dan jika Ummat Islam dimusuhi, lantas mereka ada yang melawan, ada yang tidak melawan dan bahkan banyak yang justru menjadi alat untuk memusuhi Islam sendiri meskipun si alat ini naik haji 19 kali dan dikenal sebagai tokoh Islam – maka para penguasa dunia itu tidak akan bisa dikalahkan oleh Ummat Islam, melainkan akan dieliminir dan ditaklukkan secara ridho oleh nilai-nilai Islam sendiri yang tumbuh diam-diam dari dalam diri mereka sendiri.
Anda tidak perlu percaya pada kata-kata saya ini tetapi juga sebaiknya tak usah tidak percaya, daripada kelak Anda mundur isin untuk mengakuinya. Sebagaimana kepada sorga dan neraka Anda tidak saya tuntut untuk percaya, tetapi sebaiknya juga tak usah repot-repot tak percaya – supaya kelak kalau ada sorga beneran Anda tidak malu-malu kucing untuk mendaftar masuk ke dalamnya.

Sekarang para penguasa dunia silahkan berbuat semaunya kepada Ummat Islam. Ummat Islam bisa dibunuh, ditembaki, dimusnahkan dengan tidak terlalu sukar karena dari segala segi maintenance peperangan, Ummat Islam kalah mutlak. Tetapi yang tak bisa diapa-apakan adalah nilai Islam. Sebab kandungan nilai Islam tidak bisa di tembak atau dibom. Nilai Islam terletak di lubuk hati setiap orang yang memusuhinya.
Jadi kalau, umpamanya, Anda ingin menangkap saya, memenjarakan saya, membunuh sa ya, memberangus pekerjaan sosial saya, mengucilkan saya, menghancurkan eksistensi saya, membuang saya, membakar nama saya, menginjak-injak harga diri saya, menendang kepala saya, bahkan melabuh abu bakaran mayat saya di pantai selatan -sedikitpun Anda tidak akan mendapatkan kesulitan. Sebab saya sangat lemah. Tetapi yang tidak akan terbunuh adalah keyakinan yang saya jalani, sebab keyakinan itu juga berdomisili di dalam diri Anda sendiri.
***

Nilai Islam sangat ditakuti eksistensinya oleh para penguasa dunia, tetapi Ummat Islam atau Kaum Muslimin amat diperlukan oleh mereka. Para penguasa dunia sangat membutuhkan Ummat Islam, tidak akan membiarkan Ummat Islam kelaparan, tidak membiarkan Ummat Islam kehilangan tokoh serta penampilan formalnya. NU, Muhammadiyah, MUI atau apa saja, harus terus ada, jangan sampai tidak ada. Kalau Ummat Islam sampai mengalami busung lapar dan musnah, itu akan merugikan para penguasa dunia, karena dengan demikian mereka tidak punya partner untuk menjalankan dialektika kekuasaan. Ummat Islam harus tetap eksis di muka bumi, sebab penguasa dunia membutuhkan budak dan orang-orang jajahan. Budak jangan sampai ndak makan dan loyo, sebab kalau loyo ndak bisa diperintah-perintah. Kalau kelaparan tidak enak ditempelengi. Ummat Islam dibutuhkan keberadaannya oleh penguasa dunia, dan manfaat keberadaan Ummat Islam adalah untuk proses penghancuran dan pelenyapan nilai-nilai Islam itu sendiri. Ummat Islam dipelihara, digurui, diajari, dididik untuk memiliki cara berpikir, cara bersikap dan cara hidup yang menghancurkan nilai-nilai Islam. Dan itu gampang dilaksanakan : kiai-kiai, ulama-ulama, cendekiawan muslim, mahasiswa islam, jurnalis, budayawan seniman, warga ormas keislaman, anak-anak muda Islam dll – sangat gampang digiring menjadi pegawai penghancur nilai-nilai Islam.

Ummat Islam harus dipelihara keberadaannya, sebab mereka yang sangat effektif untuk mempermalukan nilai-nilai Islam. Kalau ada kelompok Muslimin yang membangun kesejukan, kebersamaan, demokratisasi, egaliterisasi, defeodalisasi, menegakkan cinta kasih sosial – jangan diberi ruang di pemberitaan media massa dan peta opinion making – sebab mereka ini kontra-produktif untuk proses mempermalukan nilai-nilai Islam. Yang dibutuhkan oleh penguasa dunia adalah Muslim Ekstrem, radikal , ngamukan, berkepala batu, bodoh, terbelakang, suka mengancam, hobi mengasah pedang.
Rumus baku di kampus, media massa dan internet adalah “Islam harus ekstrem”. Mosok Islam ndak ekstrem. Islam ekstrem adalah Islam ideal bagi para penguasa dunia, sebab memang itulah senjata bumerang paling ampuh untuk mengeliminir ketakutan mereka terhadap kebenaran nilai Islam. Untuk menciptakan muslim ekstrem, maka harus dilaksanakan sejumlah kecurangan opini dan ketidakadilan di bidang-bidang politik, hukum, ekonomi dan kebudayaan. Kalau orang disakiti terus menerus, pasti lama-lama ia akan menjadi keras dan gampang dipancing untuk mengamuk.
Di setiap segmen sosial, di tempat kerja, di lingkungan birokrasi, di kampus, di kampung dan di manapun saja – harus terus menerus diciptakan pencitraan bahwa orang Islam itu suka menindas. Orang Islam itu mayoritas yang kejam. Meskipun kalangan Islam yang ditindas tapi opini yang dibangun harus sebaliknya.

Kalau ternyata dipancing-pancing dan dijelek-jelekkan kok orang-orang Islam itu masih saja bersabar, bersikap lembut dan merangkulkan kemesraan pluralisme – maka harus pada momentum-momentum yang berkala dan berirama harus diciptakan skenario seakan-akan ada tokoh ekstremis teroris – umpamanya Abu Bakar Baasyir — yang diupayakan untuk dihardik terus menerus di media massa, dicari-carikan pasal untuk menangkap dan menghukumnya.*****

(Pustaka Digital Emha Ainun Nadjib)

http://www.padhangmbulan.com/modules.php?name=NukeJokes&func=JokeView&jokeid=3

note : artikel di atas telah dimuat dalam Labbaik edisi no.014/th.02/Rabi’ul tsani-Jumada Al Awwal 1426H/2005M


Oh, Farhana !

April 25, 2006

(Kisah seorang Muslimah yang tegar memegang ajaran Islam di tengah hiruk-pikuk kebudayaan Barat)

Kemegahan Masjid Nabawi telah tampak dari kejauhan. Setiap langkah yang membawaku mendekati masjid, seolah menambah kerinduan akan junjungan kita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Itu adalah sebagian dari rahmat mengunjungi tanah suci, yaitu memperoleh kesempatan untuk merasakan kesyahduan berada di masjid warisan Nabi serta menikmati perjumpaan dengan sesama Muslimah dari seluruh penjuru bumi. Kami semua berada dalam satu kesamaan yang menggetarkan cinta dan rindu yang begitu tulus terhadap Nabi Muhammad.
Saat itu aku tengah menanti giliran berdoa di Raudhah-tempat antara kamar Nabi dengan mimbar di Masjid Nabawi. Di tempat ini, doa yang dipanjatkan insya Allah sangat makbul. Pandangan mataku tertuju pada seorang Muslimah. Belakangan aku tahu namanya Farhana, seorang gadis belia. Sosok Farhana memang menarik perhatianku. Di tengah jamaah yang resah menunggu dibukanya pintu Raudhah, ia kelihatan tenang saja. Matanya terus mencermati kitab yang ada di depannya. Tampak sekali Farhana tengah membaca dengan khidmat dan penuh ketenangan. Aku yang beberapa saat kemudian bisa duduk di sebelahnya, tertarik untuk ikut melongok kitab apa itu, ternyata sebuah buku dengan tulisan huruf Arab gundul.
Apa yang tertangkap mataku membuatku semakin tertarik padanya. Ditilik dari wajahnya, tidak ada rona Timur Tengah pada dirinya. Yang terlihat dengan jelas adalah kecantikan khas wanita India atau Pakistan. Namun saat itu ia mengenakan jubah hitam. Aku juga sempat lihat, ketika belum memasuki daerah khusus wanita, ia mengenakan burdah yang rapat menutup wajah cantiknya itu. Sekelebat ia menoleh ke arahku. Barangkali merasa dirinya diperhatikan. Aku melempar senyum.
“Assalaamu ‘alaikum. Saya tidak bermaksud apa-apa. Tetapi saya tertarik melihat Anda dan kitab yang Anda baca. Anda berasal darimana ?” sapaku dalam bahasa Inggris. Jawabannya sungguh di luar perkiraan, “Wa’alaikum salaam. Saya berasal dari London.”
Wow, pikiranku, tebakanku, salah semua. Kitab Arab gundul, jubah dan burdah berwarna hitam, wajah India, tapi berasal dari London ?. Aku semakin tertarik untuk mengenal lebih jauh sister Muslimahku yang satu ini. Kami akhirnya terlibat perbincangan hangat. Farhana keturunan India. Konon keluarganya sudah tinggal di London sejak beberapa generasi lalu. Ketika berusia sekitar 13 tahun, orangtuanya menyekolahkan Farhana di sebuah boarding school (sekolah berasrama) khusus Muslimah di London. Di sekolah ini, para gadis muda usia digembleng agar menjadi seorang ustadzah. Mereka diharapkan dapat menjadi hafidzah Al-Qur’an serta mengu asai berbagai kitab. Sekolah ini memang menjadi tempat pengkaderan ustadzah yang kelak akan disebar ke berbagai sekolah lain. Farhana sendiri dalam usia yang masih muda telah menjadi ustadzah di Moslem School, London.
Pikiranku segera terganggu sebuah pertanyaan, bagaimana bisa dia yang seumur hidupnya tinggal di kota London, salah satu pusat kebudayaan Barat, tetap bisa kokoh memelihara aturan-aturan sebagai seorang Muslimah ? Pikiran itu kolantarkan pada Farhana.

Gadis cantik itu mengaku sebagai penganut mazhab Hanafi. Mazhab ini mengajarkan bahwa wanita tidak boleh berpakaian yang menarik perhatian lawan jenis. Oleh karena itu, Muslimah hendaknya memakai pakaian yang warnanya paling aman, yaitu hitam atau gelap. Burdah selalu dipakai manakala mereka memasuki daerah yang ada nonmuhrimnya. Ini semua diperlukan agar para Muslimah bisa senantiasa kehormatannya terjaga, apalagi bagi mereka yang hidup menjadi minoritas di sebuah komunitas. Sebuah paparan yang inspiratif bagiku. Aku kembali mencecar dengan obrolan lanjutan, “Farhana, saya tinggal di sebuah negeri dengan penduduk 90 persen beragama Islam. Namun kadang kami tetap harus memperjuangkan hak meski hanya untuk menggunakan jilbab sederhana ini.”
Aku lalu menjelaskan peraturan di zaman perkuliahan dulu, yang mengharuskan foto di kartu mahasiswi memperlihatkan rambut dan telinga. “Bagaimana pula dengan dirimu yang harus hidup sebagai minoritas di tengah pusat kebudayaan Barat yang demikian bebas ? Tidakkah kau merasa terganggu ?” pertanyaanku polos. Dia menggeleng mantap. “Alhamdulillah, kami tidak pernah merasa tertekan hidup di London. Kami tinggal di sebuah kawasan Muslim yang sangat tegas menerapkan aturan-aturan Islam. Bahkan kami mempunyai beberapa sekolah, lengkap dari playgroup sampai tingkat pendidikan tinggi,” sambungnya.
“Farhana, aku tidak mengerti. Sedang aku yang hidup di kampung halamanku sendiri , jauh di Timur, jauh dari pusat kebudayaan Barat, merasa sangat risau dan resah dengan pengaruh Barat yang demikian membahana dalam kehidupan keseharian kami. Setiap hari aku dikejar kekhawatiran, apakah anak remajaku tidak sedang terpengaruh oleh gemerlapnya kehidupan bebas ala Barat, yang hidup untuk mengejar kenikmatan ? Sementara kau dapat hidup dengan kokoh memegang ajaran Islam tepat di tengah-tengah jantung kebudayaan Barat. Oh, Farhana, aku sungguh-sungguh kagum,” seruku spontan.
Ia segera menanggapi, “Kalau kau begitu resah dengan masa depan anakmu, sebaiknya kirimkan putra-putrimu ke boarding school kami di London. Insya Allah ia akan terpelihara dalam iman Islam yang kokoh. Dan tentunya aku bisa berkesempatan mengajar anakmu nanti,” sambungnya sambil tersenyum. Aku menggeleng-gelengkan kepala tak habis-habisnya. Sungguh kagum aku dibuatnya. Komunitas Muslim dimana Farhana tinggal di London demikian berhati-hati menjaga aqidahnya.

Ada salah satu cara yang ditempuh mereka guna memperteguh keyakinan agamanya. Yaitu dengan tidak mau mengenal televisi. Perkembangan berita terkini cukup diikuti lewat koran atau majalah atau internet yang sumbernya tepercaya. Mereka tak mau membuang waktu dengan menonton acara televisi yang sebagian besar justru melalaikan seorang Muslim dari ibadah dan kemurnian aqidah. Mereka tidak membuat dan memajang foto, karena takut akan terjerumus pada pemujaan dan berbangga diri atau pengkultusan terhadap tokoh-tokoh tertentu. Alasannya, Nabi Muhammad pun tak boleh dipuja-puja dan dikultuskan berlebih-lebihan, karena bagaimanapun beliau tetaplah seorang hamba Allah.
Kutatap matanya yang berbinar, sungguh cantik. Sempat terlintas dalam pikiranku, tidakkah dia pernah merasa tergoda untuk memamerkan wajah cantiknya ? Tetapi ja wabannya langsung kudapatkan dari kesyahduan tatap matanya saat kembali menyimak kitab di hadapannya. Wajah itu memancarkan sinar kebahagiaan dan ketenangan batin.

Oh, Farhana, kau sungguh beruntung. Tidak perlu ada keresahan sedemikian rupa seperti yang dirasakan oleh wanita lain, yang banting tulang demi mendapatkan kesempurnaan dalam penampilan fisik. Kau telah menemukan kebahagiaan yang hakiki dengan melaksanakan ajaran Islam secara kaffah. Kau tak perlukan lagi puja atau puji dari luar, karena Islam jalan selamat telah kaujalani secara total dan memberimu kebahagiaan sebagai hamba Allah yang sejati. Sejujurnya, aku merasa sangat malu. Aku dan komunitas di negeriku serasa tak kuasa menghadapi gelombang pengaruh Barat yang menerjang pada seluruh sisi kehidupan. Banyak kaum Muslimah yang merasa malu bila tak bergaya ala Barat. Hilang sudah jubah dan dan kain panjang, berganti celana jeans dan pakaian ketat. Tak lupa pula mewarnai rambut supaya lebih menyerupai para noni Barat yang kosmopolit. Kami tenggelam dalam sudut pandang yang menekankan bahwa penampilan adalah segala-galanya. Kami tenggelam dalam pemujaan fisik sehingga rohani kami lupa untuk diisi dengan sempurna.

Ya Allah, Farhana yang lahir dan dibesarkan di kota kosmopolitan, justru tak sedikit pun terpengaruh dengan gegap gempitanya dunia Barat. Ia begitu tegar dan teguh dengan keyakinannya.
Oh, Farhana…. (sumber : Majalah Hidayatullah)

http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1429

note : artikel di atas telah dimuat dalam Labbaik edisi no.013/th.02/Rabi’ul Awwal-Rabi’ul tsani 1426H/2005M


Tombo Ati

April 25, 2006

tombo ati iku ono limang perkoro
kaping pisan, moco Qur’an sa’maknane
kaping pindo, sholat wengi lakonono
kaping telu, wong kang sholeh kumpulono
kaping papat, weteng iro ingkang luwe
kaping limo, dzikir wengi ingkang suwe
salah sak wijine sopo biso ngelakoni
insya Allah Gusti Pangeran ngijabahi
—————————————————————-
ada lima obat penentram jiwa
cinta Qur’an dengan menyelami maknanya
sujudkan jiwa raga di tengah sunyi malam
kepada orang sholeh dirimu senantiasa dekatkan
adapun terhadap rasa lapar upayakan bertahan
dan atas keasyikan dzikir jangan pernah bosan
salah satu saja engkau khusyu’ melakukannya
insya Allah nasibmu akan dirawat oleh Yang Maha Kuasa
—————————————————————-
ADAPTASI DARI SAYIDINA ALI BIN ABI THALIB DITERJEMAHKAN DAN DIPOPULERKAN OLEH KYAI BISRI MUSTOFA. MERUPAKAN SALAH SATU LAGU DARI ALBUM “KADO MUHAMMAD” EMHA AINUN NADJIB .

Manusia Oh Manusia

Ini cerita atau tamsil mengenai kondisi kita sebagai manusia, Insya Allah ada hikmah/manfaatnya.
Telah datang seorang bijak di hadapan rumah seorang lelaki. Orang bijak itu terkejut mendapati si lelaki itu sedang memukuli seekor kucing. Orang bijak itu bertanya kepada lelaki tersebut ‘Kenapa kamu pukul kucing yang lemah ini??’. Si lelaki tersebut menjawab ‘ Aku telah melihatnya di sebuah lorong ketika kucing itu dalam keadaan yang sangat lemah & kedinginan , kemudian aku mengambilnya & memberinya makanan serta minuman. Aku pelihara hingga ia benar-benar sehat, tetapi se sudah kucing itu sehat ,ia membuang najis/kotoran pada semua tempat di rumahku. Maka berkatalah si orang bijak : ‘Ini sebenarnya peringatan & tamsilan antara kita dengan Allah SWT. Dia telah memelihara kita sejak dari kecil yang sangat lemah & dhaif, lalu Allah memberi kita makan, pakaian dan segala-galanya, tetapi setelah begitu banyak kebaikan dan nikmat Allah yang kita rasakan, kita durhaka kepada-NYA dan tidak melaksanakan perintah-NYA dan belum mengikuti cara hidup kekasihnya yaitu Rasulullah saw. Lihatlah betapa maha baik dan maha rahmat Allah ? Walaupun kita durhaka kepada-NYA, Dia masih belum menyiksa atau memukul kita dengan azab-NYA.’

Setelah orang bijak itu pergi, maka beristighfarlah si lelaki tersebut karena mengenang dosa-dosanya terhadap Allah. Jika ia terlambat diperingatkan oleh orang bijak itu, sudah tentu akan ia pertanggung-jawabkan kesalahannya di mahkamah Allah kelak, karena telah mencoba menyiksa seekor kucing……………

http://van.9f.com/renungan%20islam/ohh_manusia.htm

note : artikel di atas telah dimuat dalam Labbaik edisi : 002/th.01/rabi’ul ‘awal 1424H/2004M


Muhammad Al Fatih

April 25, 2006

Antrian panjang muda-mudi pada loket-loket penjualan tiket hari pertama pemutaran film “The Lord of the Rings” atau pada peluncuran buku “Harry Potter” adalah pemandangan keseharian di negeri-negeri Barat. Fenomena yang sama terjadi juga di negeri kita, seperti yang baru-baru ini dimuat di berita photo detik.com. Mereka yang sebagian besar adalah muda-mudi, termasuk yang “berjilbab”, ada dalam antrian panjang untuk membeli buku Harry Potter Jilid V yang harganya Rp. 140.000. Uang sejumlah itu bukanlah sedikit untuk masyarakat kita umumnya. Masih ingatkah kita kisah seorang anak SD yang mencoba mengakhiri hidupnya gara-gara malu karena tidak bisa membayar uang untuk kegiatan sekolah yang besarnya hanya Rp. 2500.
Harry Potter … hampir semua remaja, bahkan dewasa, begitu mengenalnya. Bukunya laris manis bak kacang goreng. Film-film-nya sangat ditunggu-tunggu. Asesorisnya menjadi bahan koleksi para penggemarnya. Mereka hafal secara detil petualangan tokoh yang bernama Harry Potter ini. Bahkan pernah dilaporkan di majalah Time, kacamata model Harry Poter, sangat digandrungi oleh anak-anak dan remaja di Inggris, dan saya yakin juga di negara-negara lain, termasuk negara kita. Believe it or not, bahkan ada sebuah keluarga yang memberi nama anaknya yang baru lahir Harry Potter …. karena begitu kagumnya terhadap tohoh yang satu ini. Sedikit, bahkan bias dikatakan hampir tidak ada, remaja kita yang tidak kenal dengan nama Harry Potter. Dan yang sedikit ini umumnya dikategorikan sebagai kuno, tidak gaul, dan ketinggalan zaman.

“…saya berkewajiban menemani dia membeli buku”,ujar seorang Profesor yang juga ketua salah satu komisi di DPR. Meski hanya fiksi, penulis buku Harry Potter sering menyisipkan falsafah hidup yang dapat membuat anak-anak lebih bijak, demikian alasan sang Profesor seperti yang ditulis di detikhot.com. Kalau alasannya untuk mencari falsafah hidup, tidak cukupkah Islam sebagai minhaaj al-hayaah (pedoman hidup) memberikan itu semua? Bila kemudian alasannya agar bisa menjadi manusia yang lebih bijak dan berakhlak, lantas apa arti hadist Rasulullah SAW “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang manusia”. Tidak cukupkah itu semua, sehingga kita mesti mengambilnya dari sumber-sumber lain, yang belum tentu sejalan dengan tuntunan Islam.

Muhammad Al-Fatih …. siapakah dia ? Jika pertanyaan ini diajukan ke 1000 Remaja muslim, mungkin hanya 1 diantaranya yang tahu jawabannya. Dialah pemuda muslim yang dalam usia 23 tahun berhasil memimpin penaklukan konstantinopel (sekarang bernama Istambul), yang merupakan pusat peradaban barat di abad pertengahan. Sang pemuda ini berhasil mengambil alih konstantinopel dari tangan kerajaan Bizantium yang merupakan kelanjutan dari Roman Empire dan telah menguasai Konstantinopel lebih dari 10 abad. Remaja Muslim sekarang lebih kenal dengan tokoh Harry Potter, ketimbang tokoh Muhammad Al-Fatih. Mahasiswa-mahasiswa muslim di negeri ini lebih mengenal dan mengagumi sosok Einstein, Louis Pasteur dan Aristoteles ketimbang sosok Khwarizmi si-penemu sistem aljabar dalam dunia matematika, Ibn Sina (Avicenna) yang telah menulis buku “The Canon” yang telah menjadi buku rujukan utama di dunia kedokteran Eropa selama lebih dari 5 abad dan Ibu Rushd (Averroes) yang fikiran-fikirannya telah mempengaruhi filsuf-filsuf terkenal Eropa seperti Roger Bacon, padahal ilmuwan-ilmuwan muslim ini sangat dikenal di dunia barat.

Begitulah nasib muslim di negeri ini yang terkadang lebih ‘kebarat-baratan’ daripada orang-orang barat sendiri. Lihatlah buku-buku yang terpajang di rak dinding ruang tamu kita, berapa banyak dari buku-buku tersebut yang merupakan kitab tafsir, fiqh sunah dan buku-buku kisah para sahabat, lalu bandingkan dengan koleksi buku-buku semacam Harry Potter …

Bila tangan kita dengan mudahnya meraih lembaran-lembaran 50 atau 100 ribuan di dompet untuk membeli buku semacam Harry Potter, buku-buku komputer terbaru, buku-buku manajemen dan psikologi modern, sementara hanya lembaran uang ribuan atau bahkan koin recehan yang keluar dari saku kita guna membeli buku-buku Islam, menyumbang kegiatan keislaman, dan mengisi kotak amal di masjid-masjid. Waktu yang kita gunakan untuk kegiatan-kegiatan keislaman pun biasanya waktu-waktu sisa, saat kita sudah letih dan tak mampu lagi berfikir jernih. Terlalu naif rasanya bila kemudian kita masih bertanya mengapa umat (Islam) ini menjadi umat yang terbelakang, umat sisa, umat yang menjadi bulan-bulanan umat-umat yang lain. (Negeri batu cadas, Swedia, 11 Desember 2003)

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat, dan dia banyak mengingat Allah” (Al-Ahzab : 21)

http://www.eramoslem.com/ar/oa/41/8939,1,v.html

ANAK KECIL YANG TAKUT API NERAKA

Dalam sebuah riwayat menyatakan bahwa ada seorang lelaki tua sedang berjalan-jalan di tepi sungai, sedang dia berjalan-jalan dia terpandang seorang anak kecil sedang mengambil wudhu’ sambil menangis.
Apabila orang tua itu melihat anak kecil tadi menangis, dia pun berkata, “Wahai anak kecil kenapa kamu menangis?”
Maka berkata anak kecil itu, “Wahai pakcik saya telah membaca ayat al-Qur’an sehingga sampai kepada ayat yang berbunyi, “Yaa ayyuhal ladziina aamanuu quu anfusakum” yang bermaksud, ” Wahai orang-orang yang beriman, jagalah olehmu sekalian akan dirimu.” Saya menangis sebab saya takut akan dimasukkan ke dalam api neraka.”
Berkata orang tua itu, “Wahai anak, janganlah kamu takut, sesungguhnya kamu terpelihara dan kamu tidak akan dimasukkan ke dalm api neraka.”
Berkata anak kecil itu, “Wahai pakcik, pakcik adalah orang yang berakal, tidakkah pakcik lihat kalau orang menyalakan api maka yang pertama sekali yang mereka akan letakkan ialah ranting-ranting kayu yang kecil dahulu kemudian baru mereka letakkan yang besar. Jadi tentulah saya yang kecil ini akan dibakar dahulu sebelum dibakar orang dewasa.”
Berkata orang tua itu, sambil menangis, “Sesungguh anak kecil ini lebih takut kepada neraka daripada orang yang dewasa maka bagaimanakah keadaan kami nanti?”

Sumber : Kisah Teladan.

Note : artikel di atas telah dimuat dalam Labbaik edisi : 002/th.01/rabi’ul awal 1424H/2004M