BIARKAN DIA BERBICARA

Mei 29, 2006

Hari itu para pembesar Quraisy mengadakan sidang umum. Mereka memperbincangkan berkembangnya gerakan baru yang diasaskan Muhammad. Ada dua pilihan, To shoot it out atau to talk it out (Membasmi gerakan itu sampai habis atau mengajaknya bicara sampai tuntas. Pilihan keduayang diambil. Untuk itu serombongan pembesar Quraisy tersebut menemui Nabi saw. Pada saat itu Beliausedang berada di masjid. Kemudian salah satu pembesar Quraisy, Utbah bin Rabi’ah anggota Dar al-Nadwah (parlemen) yang paling pandai berbicara, berkata :“Wahai kemenakanku ! Aku memandangmu sebagai orang yang terpandang dan termulia diantara kami. Tiba-tiba engkau datang kepada kami membawa paham baru yang tidak pernah dibawa oleh siapa pun sebelum engkau. Kau resahkan masyarakat, kau timbulkan perpecahan, kau cela agama kami. Kami khawatir suatu ketika akan terjadi peperangan diantara kita, hingga kita semua binasa. Apa sebetulnya yang kau kehendaki. Jika kau inginkan harta, akan kami kumpulkan kekayaan dan engkau menjadi orang terkaya diantara kami. Jika kau inginkan kemuliaan, akan kami muliakan engkau sehingga engkau menjadi orang yang paling mulia. Kami tidak akan memutuskan sesuatu tanpa meminta pertimbanganmu. Atau, jika ada penyakit yang mengganggumu, yang tidak dapat kau atasi, akan kami curahkan semua perbendaharaan kami sehingga kami dapatkan obat untuk menyembuhkanmu. Atau mungkin kau inginkan kekuasaan, kami jadikan kamu penguasa kami semua. “Nabi saw mendengarkan dengan sabar. Tidak sekalipun beliau memotong pembicaraannya. Sampai ketika Utbah berhenti bicara, Nabi bertanya, “Sudah selesaikahya Abal Walid?”. “Sudah”, kata Utbah. Nabi membalas ucapan Utbah dengan membaca surat Fushilat :“Ha miim. Diturunkan al-Qur’an dari Dia yang Mahakasih Mahasayang. sebuah kitab, yang ayat-ayatnya dijelaskan. Qur’an dalam bahasa Arab untuk kaum yang berilmu…..”Nabi saw terus membaca. ketika sampai ayat sajdah, ia bersujud. Sementara itu Utbah duduk mendengarkan sampai Nabi menyelesaikan bacaannya. kemudian, ia berdiri. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Kemudian Utbah kembali kepada kaumnya, dan mereka berkata, “Lihat, Utbah datang membawa wajah yang lain.” Utbah kemudian duduk di tengah-tengah mereka. perlahan-lahan iaberbicara, “Wahai kaum Quraisy, aku sudah berbicara seperti yang kalian perintahkan. Setelah aku berbicara, ia menjawabku dengan suatu pembicaraan. Demi Allah, kedua telingaku belum pernah mendengar ucapanseperti itu. Aku tidak tahu apa yang diucapkannya. Wahai kaum Quraisy ! Patuhi aku hari ini. kelak boleh kalian membantahku. Biarkan laki-laki itu bicara. Tinggalkan dia. Demi Allah, ia tidak akan berhenti darigerakannya. Jika ia menang, kemuliannya adalah kemulianmu juga.”Orang-orang Quraisy berteriak, “Celaka kamu, hai Abul Walid. Kamu sudah mengikuti Muhammad”. Orang Quraisy ternyata tidak mengikuti nasihat Utbah (Hayat al-Shahabah 1:37-40; Tafsir al-durr al-Mansur 7:309,Tafsir Ibn Katsir 4:90, Tafsir Mizan 17:371) Mereka memilih logika kekuatan, dan bukan kekuatan logika.

 

Peristiwa itu sudah lewat ratusan tahun yang lalu. Kita tidak heran bagaimana Nabi saw. dengan sabar mendengarkan pendapat dan usul Utbah, tokoh musyrik. Kita mengenal akhlak Nabi dalam menghormati pendapatorang lain. Yang menakjubkan kita adalah perilaku kita sekarang. Bahkan oleh Utbah, si musyrik, kita kalah. Utbah mau mendengarkan Nabi saw. dan menyuruh kaumnya membiarkan Nabi berbicara. Jangankan mendengarkanpendapat kaum kafir. Kita bahkan tidak mau mendengarkan pendapat saudara kita sesama muslim. Seperti pembesar-pembesar Quraisy, kita lebih sering memilih ‘shoot it out’ !(dikutip dari Jalaluddin rakhmat, “tafsir bil ma’sur”, h. 131-133), wassalamal-haqir wa al-faqir. (oleh : Nadirsyah)

http://www.isnet.org/archive-milis/archive97/feb97/0314.html

artikel di atas telah dimuat dalam Labbaik edisi no.017/th.02/Rajab-Sha’ban 1426H/2005M


Dalang Dibalik Gerakan Islam Liberal di Berbagai Negeri Muslim Saat Ini

Mei 29, 2006

Gerakan liberalisasi pemikiran Islam yang marak akhir-akhir ini (bahkan di Jakarta mereka membentuk JIL = Jaringan Islam Liberal), sebenarnya lebih berunsur pengaruh eksternal ketimbang perkembangan alami dari dalam tradisi pemikiran Islam sendiri. Leornard Binder, diantara sarjana Barat keturunan Yahudi yang bertanggungjawab mencetuskan pergerakan Islam liberal dan mengorbitkannya pada era 80-an, telah memerinci agenda-agenda penting Islam Liberal dalam bukunya Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies. Dalam buku tersebut ia menjelaskan premis dan titik tolak perlunya pergerakan Islam Liberal didukung dan di sebar luaskan. Selain rational discourse yang merupakan tonggak utamanya, gerakan ternyata tidak lebih daripada alat untuk mencapai tujuan politik yaitu menciptakan pemerintahan Liberal ala Barat (AS dan Eropa). Antek Yahudi dan Barat bentuk lainnya ?

Pengaruh eksternal itu dengan mudah dapat ditelusur dari trend pemikiran liberal di Barat dan dalam tradisi keagamaan Kristen. Leornard Binder, diantara sarjana Barat keturunan Yahudi yang bertanggungjawab mencetuskan pergerakan Islam liberal dan mengorbitkannnya pada era 80-an, telah memerinci agenda-agenda penting Islam Liberal dalam bukunya Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies. Dalam buku tersebut ia menjelaskan premis dan titik tolak perlunya pergerakan Islam Liberal didukung dan di sebar luaskan. Selain rational discourse yang merupakan tonggak utamaya, gerakan ternyata tidak lebih daripada alat untuk mencapai tujuan politik yaitu menciptakan pemerintahan liberal.

Fakta ini didukung oleh seorang lagi penulis dan pendukung Islam Liberal, Greg Barton, dalam bukunya Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Barton menggariskan prinsip dasar yang dipegang oleh kelompok Islam liberal yaitu: (a) Pentingnya kontekstualisasi ijtihad; (b) Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaharuan (agama); (c) Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama; (d) Pemisahan agama dari parti politik dan kedudukan negara yang nonsektarian. (Greg Barton, 1999)

Liberalisme dan ‘Fundamentalisme’
Sebagaimana watak pemikiran postmodernis yang selalu mengkaitkan permikiran dengan kekuasaan, gerakan Islam liberal nampaknya tidak jauh dari trend itu. Maka dari itu dalam pemikiran Islam liberal, politik adalah salah satu agenda terpenting. Terbukti ketika pemikiran Islam liberal memulai gerakannya apa yang menjadi concern utamanya adalah membendung kekuatan arus pemikiran yang dinamakan ‘fundamentalis’. Cara-cara gerakan ini menghadang kelompok ini lebih cenderung frontal dan konfrontatif daripada persuasive. Tokoh-tokoh pemikir liberal di kalangan masyarakat Muslim, seperti Nasr Hamid Abu Zayd, Hasan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Fatimah Mernisi, Aminah Wadud, Arkoun, al-Jabiri, Abdullah al-Naim dll, muncul dengan ide-ide yang secara mencurigakan menyerang pemikiran mainstream ummat Islam . Pandangan-pandangan mereka terhadap kelompok salafi yang mereka anggap fundamentalis lebih keras daripada kritik mereka terhadap Barat. Juga karena ide pluralisme agama kritik mereka terhadap Islam dan ummat Islam lebih keras daripada kritik mereka terhadap agama lain. Gejala ini perlu dicermati dengan seksama.

Perkataan fundamentalisme muncul pertama kali pada tahun 1920 oleh Curtis Lee Laws dengan merujuk kepada golongan Kristen, American Protestant , yang menentang modernisme dan liberalisme khususnya Darwinisme. Fanatisme mereka terhadap Christianity dan penentangan terhadap pembaharuan ini menjadi ciri utama fundamentalisme golongan Kristian tersebut. Oleh karena itu, istilah fundamentalis ini sinonim dengan fanatik, ekstrimis, dan militant. Maka perkataan tersebut membawa konotasi yang negatif, dan memberi makna yang mencemooh dan memojokkan.
Penggunaan Istilah tersebut dalam Islam muncul dan menjadi popular setelah terjadi revolusi Iran, yaitu sebutan yang merujuk kepada aktifis militan golongan Shi’ah di Iran, yang memprotes segala aktivitas Barat dan mempromosikan penentangan terhadap Barat dan kepentingan Barat. Bahkan kemudia fundamentalisme dikaitkan dengan aksi-aksi terrorisme. Menurut James Veitch istilah fundamentalisme telah digunakan dengan sewenang-wenangnya oleh media Barat dan penulis-penulis Barat sehingga tidak hanya melingkupi golongan radikal dan ekstrim tetapi juga golongan yang dinamakan reformis atau revivalis. (James Veitch, 1993)
Senada dengan James, Khurshid Ahmad menyangkal dimasukkanya gerakan revivalis kedalam kategori Fundamentalis, fanatik dan militan. Karena gerakan-gerakan tersebut tidak bersifat demikian.

Richard Nixon Bekas presiden Amerika telah menulis sebuah buku yang berjudul Seize the Moment . Buku ini menjadi rujukan utama dalam menentukan dasar kebijaksanaan Luar negeri Amerika. Dalam buku tersebut Nixon memberikan lima kreteria seorang fundamentalis Muslim.
Pertama: Orang yang membenci Barat.
Kedua : orang yang berpendirian bahwa Islam adalah agama dan negara.
Ketiga : orang yang ingin melaksanakan Syari’at Islam.
Keempat: orang yang ingin membina kembali peradaban Islam.

Kelima : orang yang beranggapan bahwa penyelesaian bagi Umat Islam adalah dengan kembali kepada masa lampau (ajaran Islam yang benar).
Mafhum mukhalafah dari kriteria ini jelas bahwa orang yang tidak fundamentalis bagi Barat adalah orang Islam yang meninggalkan syariat Islam, tidak concern dengan masalah umat Islam, dan tidak bercita-cita membangun kembali kegemilangan Islam. Jadi sejatinya yang menjadi ancaman bagi Barat bukan Muslim “fundamentalis”, tapi kebangkitan Islam itu sendiri.

Sekularisasi dan Depolitisasi Islam
Di Barat, sekularisme, modernisme dan liberalisme berjalan seiring. Ketiga-tiga pemikiran ini adalah solusi bagi masyarakat Barat untuk maju dan modern. Itu disebabkan, mereka telah menderita akibat pemerintahan kuku besi Gereja yang telah membunuh sekitar 430.000 orang dan membakar hidup-hidup sekitar 32.000 orang atas alasan menentang kehendak tuhan. Galileo, Bruno dan Copernicus adalah diantara saintis-saintis yang malang karena melontarkan idea yang bertentangan dengan idea Gereja yang kononnya berasal daripada Tuhan.
Untuk melestarikan kekuasaannya, gereja membentuk satu institusi pengadilan yang dikenal paling brutal di dunia, yaitu Mahkamah Inkuisisi. Karen Armstrong, dalam bukunya, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, (1991:456) menyatakan: ” Most of us would agree that one of the most evil of all Christian institutions was the Inquisition, which was an instrument of terror in the Catholic Church until the end of seventeenth century.” Despotisme Gereja ini mengakibatkan pemberontakan terhadap kekuasaan Gereja. Konflik tersebut berakhir dengan kemenangan bagi filsafat dan Sains.

Sudah menjadi sunnatullah aksi yang kuat akan menghasilkan reaksi yang kuat, setelah kekuasaan berada pada filsafat dan Sains, maka agama (Kristen) kemudian menjadi korban tekanan dan pembatasan. Pemikiran sekularisme, modernisme dan liberalisme ternyata adalah obat yang mujarrab yang telah berhasil membawa masyarakat Barat dari era kegelapan ( the dark age ) ke era kebangkitan ( renaissance ) dan kemajuan. Persoalannya adalah apakah konsep-konsep sekularisme, modernisme, liberalisme dari Barat itu dapat dipakai untuk menyembuhkan penyakit umat Islam? Jawabnya tentu negatif, sebab penyakit yang diderita Umat Islam amat berbeda dari penyakit yang diderita masyarakat Barat. Umat Islam tidak pernah mengalami pemerintahan kuku besi yang dilakukan oleh ‘clergy’; ulama tidak pernah memerintah dan tidak berambisi memerintah. Sebab, Islam tidak mengenal “institusi gereja” yang mengaku mendapatkan mandat dari Tuhan untuk berkuasa.
Ternyata, konsep-konsep sekularisasi dan liberalisasi itu berdampak pada penelanjangan politik (depolitisasi) ummat Islam. Dan ini telah dilakukan sejak awal abad keduapuluhan yaitu bersamaan dengan kejatuhan Khilafah Uthmaniyyah (1924). Pada tahun tahun ini muncul beberapa tokoh kontroversi seperti Kamal Attaturk di Turki yang telah bertanggungjawab menghapuskan Khilafah Utmaniyyah dan menggantikannya dengan negara sekular.

Secara intelektual, muncul nama ‘Ali ‘Abd al-Raziq di Mesir, seorang qadi Shar’i yang mendapat Ijazah doktor di London dengan bimbingan T.W. Arnold, seorang orientalis terkenal. ‘Ali ‘Abd al-Raziq mungkin sarjana Muslim yang pertama yang mendukung penghapusan Khilafah . Menurutnya, Islam dan Rasulullah SAW sendiri memisahkan antara agama dengan politik. Karena itu, sistem Khilafah adalah ciptaan manusia: pemerintah dan kerajaan pada masa itu yang menjustifikasikan pemerintahan mereka dengan memperalat agama (‘Ali Abdul Raziq, tt. Al-Islam wa Usul al-Hukm ). Sebaliknya Islam hendaknya hanya dilihat dari sisi kerohaniannya saja ( spirituality ) yang tidak memerlukan kekuasaan dan percaturan politik. (Buku ‘Ali Abdul Raziq mendapat tentangan yang hebat daripada kebanyakan ulama pada masa itu, berpuluh-puluh buku telah ditulis untuk menjawab buku tersebut diantaranya buku-buku yang ditulis oleh: Muhammad Bakhit al-Mutii, Muhammad Khadr Husayn, Diya al-Din al-Rayyis dan lain-lain).
Setelah ‘Ali ‘Abd al-Raziq, muncullah kemudian orang-orang yang lebih berani lagi mempersoalkan masalah-masalah pokok dalam Islam dengan kritikan terhadap ajaran Islam, institusi Ulama, dan Rasulullah SAW. Golongan ini di Mesir lebih dikenali dengan golongan al-‘almaniyyun (sekularis).

Ketika terjadi perdebatan tentang penegakan hukum Islam di negara-negara Islam kelompok Islam liberal adalah golongan yang paling lantang menentangnya. Faraj Fawdah, salah seorang dari mereka mengatakan bahwa “melaksanakan Shari’at Islam adalah bermakna menegakkan negara theokrasi, negara yang diperintah oleh golongan agama ( rijal al-Din ) yang memerintah atas nama Tuhan”. Wahid Ra’fat menambahkan, orang-orang yang ingin menegakkan Shari’at sebenarnya ingin menjadi golongan kahanah ( clergy ), institusi yang mewakili Tuhan dan berkuasa penuh menentukan kehidupan manusia, sebab mereka saja yang akan mempunyai hak untuk menafsirkan Shari’ah. Muhammad Sa’id al-‘Ashmawi menolak campurtangan Islam dalam politik, ini karena al-Qur’an tidak pernah membincangkan pemerintahan atau menjelaskan bentuknya. Ashmawi juga mengatakan bahwa orang Islam yang menyeru penegakan hukum Islam sebenarnya tidak mengetahui apa yang dimaksudkan dengan hukum Islam. Asghar Ali Engineer mengatakan bahwa apa yang diperjuangkan oleh Mawdudi adalah pentafsiran beliau sendiri terhadap agama dan Shari’at, dan bukannnya Islam ataupun Shari’at Islam. Sebab, menurut Engineer, tidak ada definisi yang disepakati apa yang dimaksudkan dengan Shari’ah. Asghar berkesimpulan bahwa negara yang ingin ditubuhkan oleh Mawdudi adalah negara theokrasi dan authoritarian, dimana golongan agama akan memerintah dengan kuku besi (Untuk jawaban yang lebih terperinci terhadap kritikan Asghar ‘Ali Engineer dan Nasr Hamid Abu Zaid lihat Thesis Master penulis yang tidak diterbitkan bertajuk The Concept of al-Hakimiyyah (the Sovereignty of God ) in Contemporary Islamic Political Thought . ISTAC, UIAM, 2003).
Tudingan-tudingan kaum liberal seperti itu bisa dipahami dalam perspektif, bahwa mereka memang menjadi kepanjangan tangan Barat untuk menjalankan agenda Barat terhadap dunia Islam. Sebab, bagi Barat yang imperialistik, Islam – aqidah dan syariahnya – dipandang sebagai ancaman. Jika aqidah dan syariah Islam tegak di muka bumi, maka ideologi, pemikiran, sistem hukum, dan dominasi ekonomi Barat, otomatis akan goncang. Karena itulah, Barat mau membangun pusat-pusat studi Islam yang canggih dan membiayai sarjana-sarjana Muslim menimba ilmu di sana. Barat juga bersemangat membiayai kelompok-kelompok liberal Islam, di mana pun berada. Untuk apa? Jelas niat utamanya adalah untuk mengokohkan hegemoni mereka. Namun, itu adalah urusan Barat. Yang lebih penting adalah bagaimana kaum Muslim memahami agenda-agenda Barat dan kaum liberal pro-Barat, agar tidak terkecoh dan terjebak oleh agenda-agenda imperialis itu. Biasanya, mereka pintar membuat jargon-jargon dan istilah-istilah yang indah, yang seolah-olah untuk memajukan Islam. Padahal, justru menikam dari dalam dan meruntuhkan bangunan Islam itu sendiri. Namun, kita tidak perlu apriori dengan Barat, tetapi harus lebih cerdik dan lebih pintar dari Barat. Berbagai kemajuan yang dicapai Barat perlu dipelajari dengan sikap kritis, tanpa perlu membebek terhadap ideologi dan cara berpikir yang materialistik, sekularistik, liberalistik, dan hedonistik. Wallahu a’lam .

Oleh : Khalif Mu’ammar Penulis artikel ini adalah mahasiswa PhD ISTAC-IIUM Kuala Lumpur, Malaysia. Tulisan diambil dari INSISTNET.COM

http://swaramuslim.net/more.php?id=1518_0_1_0_M

note : artikel di atas telah dimuat dalam Labbaik edisi no.017/th.02/Rajab-Sha’ban 1426H/2005M


Disini Malaikat Raqib Sedikit ‘Menganggur’

Mei 29, 2006

Syahdan, hanya ada dua malaikat yang setiap saat mengintai gerak-gerik kita. Memata-matai tingkah laku serta tak pernah mengerjapkan mata meski sekejap. Mereka memiliki kapasitas dan kemampuan yang jauh di atas rata-rata intelijen yang pernah dimiliki CIA, FBI, atau NSA saat mengendus “korbannya”. Mereka adalah Malaikat Raqib ra dan Malaikat ‘Atid ra. Tugas utama mereka dari Allah cuma satu: mencatat kelakuan baik serta kelakuan jahat kita. Mereka sangat jujur dan tak pernah bermaksiat kepada Allah. Mencatat apa adanya. Baik ya baik, buruk tetap buruk. Mereka tidak ditugaskan untuk mengolah, menganalisis, menyimpulkan apalagi menjatuhkan vonis sebagaimana intelijen kampung yang seringkali bias atas nama kepentingan.
Mereka hanya menyetor data. Soal keputusannya, semata di tangan Allah SWT. Nama keduanya amat mudah dikenal karena sejak kanak-kanak sudah masuk dalam file memori kita. Malaikat Raqib bertugas hanya mencatat yang baik-baik saja dari kita, sedang Malaikat ‘Atid sebaliknya, cuma mencatat yang buruk-buruk. Keduanya dikenal sangat jujur, tulus dalam bertugas serta sungguh jauh dari pamrih. Singgasana mereka di surga tetapi prajuritnya sungguh tak terhitung. Tak ada sepotong nyawa pun yang tidak memiliki buku stambuk dan buku induk pencatatan amal kita. Semuanya serba lengkap dengan superkomputer yang teramat canggih. Pada waktunya, kepada kita akan dipertunjukkan catatan-catatan serta jejak rekam kita selama menjadi penghuni di alam yang serba cepat ini.

Kini kalau kita berhitung secara jujur, manakah di antara dua malaikat itu yang paling sering menuangkan catatannya untuk kita. Tampaknya tanpa dikomando telunjuk ini akan mengarah kepada Malaikat ‘Atid. Kalau dihitung-hitung pula, maka secara logika Malaikat ‘Atid akan jauh lebih aktif membuat catatan dibanding Malaikat Raqib yang mungkin hanya tersenyum dan geleng-geleng karena tak terlalu banyak amal yang bisa dimasukkan dalam Buku Induk. Tumpukan dosa-dosa akan terus menjadi daftar pertama Buku Induk Malaikat ‘Atid dalam setiap pergantian tahun karena Allah sudah menyediakan buku baru bagi timbunan dosa yang tak terhitung ini. Kalau tidak karena Allah Mahakuasa menjadikan Malaikai ‘Atid memiliki daya juang yang luar biasa, boleh jadi beliau akan merasa bosan dan protes kepada anak Adam. Tapi, begitulah tugas mulia kedua malaikat al-muqorrobin ini. Mereka tidak pernah protes apalagi menyatakan keberatannya sebagaimana pernah dilakukan Iblis.

Hingga akhirnya kita mendengar seorang ustadz di kampung Pasirangin, Cileungsi, Bogor, berdoa. Guru ngaji bernama ustadz Zubaedi Raqib ini dalam sebuah munajat di hadapan tak lebih dari sepotong shaf dalam shalat jamaah Maghrib berbisik kepada Tuhannya. “Ya Robbanaa. Di negeri kami rasa saling curiga bersemayam, bahkan mencengkeram dengan amat kuat di benak setiap orang hingga saudara sendiri pun harus kita mata-matai, apakah masih dapat dipercaya. Di desa kami pergunjingan adalah hal yang biasa hingga jika sedetik saja kita tidak “memangsa daging saudara” kami yang sudah mati (istilah Alquran untuk orang-orang yang suka menggunjing), rasanya kami belumlah tenteram dan aman. Di kampung kami jika muncul persoalan, bukan kepada hati nurani kami bertanya, tetapi langsnung menjatuhkan vonis dan menuding saudara sendiri sebagai penyebab pelakunya. Di dusun kami tak ada lagi tetua yang bisa didengar nasihatnya karena yang meluncur dari mulutnya tinggal sumpah serapah dan adu domba. Meski negeri, desa, kampung, dan dusun kami terletak di atas bumui-Mu tetapi kami selalu lupa bahwa Engkau memiliki hak untuk mengusuir kami dari tanah-Mu ini. Kalau akhirnya Engkau usir kami, ke mana lagi kami akan pindah?”.
“Ya Robbanaa, hanya di negeri kami dapat disaksikan gelimpangan mayat tanpa kepala berserakan di sembarang tempat. Cuma di negeri kami, membantai jadi isyarat kepahlawanan dan kesucian. Hanya di negeri kami, keberanian memuncak ke ujung rambut hingga sering kami mencabut nyawa saudara kami atas nama-Mu. Hanya di negeri kami, kaum perempuan dijual sebagai alat konsumtif untuk memenuhi nafsu setan. Cuma di negeri kami, anak-anak diperdagangkan, diperah tenaganya, dirampas hak-haknya, dan dicibir seperti sampah di setiap lampu merah, di bawah kolong jembatan dan emperan-emperan plasa yang dibangun di atas tanah-Mu. Kalau dikalkulasi, dosa-dosa akumulatif kami, sudah barang pasti akan melampaui utang luar negeri yang cuma ratusan triliun rupiah. Di hadapan pengadilan-Mu, dosa satu orang di antara kami, terlalu besar jika cuma dibayar dengan utang luar negeri kami. Ya Allah ya Maaliki! Apakah karena dosa-dosa kami itu, Engkau berikan kepada kami pemimpin yang sungguh tidak takut kepada-Mu dan tidak sayang kepada kami?”
“Allahumaa ya Robb! Para pemimpin kami benar-benar tidak takut kepada-Mu. Selama ini kami anggap mereka sebagai orang tua kami yang selalu siap memberikan rasa kasih dan sayang kepada kami. Tetapi sejak kami angkat mereka sebagai pemimpin kami, mereka bukan membelai kami menjelang tidur, tetapi justru membuat hati kami berdebar-debar karena waswas. Mereka tidak pernah memenuhi hak kami agar diberi pendidikan yang layak, untuk diberi sandang yang layak dan pangan yang patut. Setiap hari mereka menebar rasa takut, seakan-akan mereka malaikat pencabut nyawa. Mereka tak pernah menenteramkan hati kami.”

Begitu mendengar untaian doa orang kecil ini, maka inilah saatnya kita melapor langsung kepada Allah SWT setelah serangkaian persoalan tak mampu lagi kita tanggungkan sendiri. Setelah prahara yang mendera bangsa tanpa henti, belum berakhirnya krisis jati diri setelah 30 tahun lebih tercabik-cabik, lahirnya era baru yang tak kunjung membuahkan harapan, kompleksnya persoalan hingga sulit mencari jalan keluar, kini saatnya kita mengadu hanya kepada Allah. Sesungguhnya hidup dan mati adalah ujian, siapa di antara kita yang paling baik perbuatannya (Innal Hayaata Wal Mauta Liyabluwakum Ayyukum Ahsanu ‘Amalan). Demikianlah Allah mengingatkan kita melalui firman-Nya yang Agung. Tetapi rasanya teramat sulit bagi kita untuk dapat mencerna dengan kesadaran tinggi, kepasrahan total dan kebeningan jiwa yang luhur untuk memaklumi isyarat Tuhan tersebut. Bangsa ini tinggal berharap pada harapan itu sendiri setelah tiada lagi institusi, lembaga, pranata sosial, dan pemimpin yang dengan ketulusan hati berkenan mendengarkan jeritan yang dengan bersuara pun tak mampu lagi membantu kita meneriakkannya. Saatnya kita melapor langsung kepada Allah, betapa sulitnya menghitung dengan jari, siapa lagi yang mampu menjadi khalifah-Mu di Bumi Pertiwi ini. Tuhan! Saksikan dan dengarlah pengaduan hamba-hamba-Mu ini. Kami sadar benar bahwa Engkau Mahamendengar dan Saksi Abadi atas derita yang membelit segenap anggota tubuh kami. Tuhan! Kami hanya ingin mengadu kepada-Mu malalui Sifat dan Asma-Mu yang Agung ! Wallaahu A’lamu Bishshowaab Wa Anta Wallyuttaufieq.
(oleh : KH A Hasyim Muzadi )

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=180858&kat_id=49&kat_id1=&kat_id2=

note : artikel di atas telah dimuat dalam Labbaik edisi no.017/th.02/Rajab-Sha’ban 1426H/2005M


D U A H A T I . . .

Mei 16, 2006

Melinda meremas-remas rambutnya. Fuh ! Pusing kepalanya melihat berkas-berkas yang menumpuk di depan matanya. Meja kerjanya benar-benar seperti dilanda topan. Dengan malas perempuan bertubuh semampai itu bangkit. Dibukanya tirai dan berdiri mematung di depan jendela. Kesibukan malam di jantung kota Jakarta bisa dilihatnya dengan jelas. “Bosan”, keluh Melinda dalam hati. Dari hari ke hari hidup ini dirasakannya begitu menjemukan. Perempuan itu tersenyum getir. Dalam kesendirian, tiba-tiba ia merasa begitu rapuh. Sosok wanita karier yang sukses dan sedang naik daun lenyap begitu saja.
Melinda menghela nafas. Sekarang sudah masuk pekan kedua bulan Maret. Rangkaian acara tema Derap Emansipasi Wanita Indonesia atau DEWI untuk menyambut Hari Kartini sudah dirancangnya sedemikian rupa. Paling tidak 70 persen masa persiapan sudah ia rampungkan. Awak majalah Wanita benar-benar bekerja keras siang dan malam. Promosi sudah dilemparkan kepada publik. Berbagai pihak sudah ia hubungi. Tapi…Aaah. Entah kenapa hatinya kadang-kadang berkata lain. Ada sesuatu yang dirasakannya begitu berat.

Melinda melihat jam tangannya. Hampir pukul 9. Ia harus mencek bagian fotografi untuk memastikan kehadiran gadis-gadis model yang baru. Setelah berkaca sejenak, ia segera keluar. Keluar dari lift, mata Melinda langsung melihat tubuh-tubuh yang dibungkus pakaian gemerlapan. Gadis-gadis yang doyan pamer aurat itu sedang bercanda ria di depan studio. Melinda terus melangkah menuju ruang pemotretan. Mendadak kakinya terhenti mendengar celotehan gadis-gadis model itu.
“Apa ? Aida sudah balik ke Jakarta ?”
“Aida Yusuf ? Apa ? Masak sih ?”
Lalu terdengar suara cekikikan.

Aida ? Kening Melinda berkerut. Tiba-tiba matanya berbinar. Perempuan itu memutar tubuhnya menuju lift. Setelah menunggu beberapa detik, pintu lift terbuka. Melinda bersandar pada dinding lift. Terbayang di depan wajahnya sosok Aida. Delapan tahun yang lalu, Aida pernah juara dalam kontes Gadis Masa Kini di majalah Wanita. Saat itu ia masih menjadi penanggung jawab rubrik. Ah, ia kenal betul dengan Aida. Cantik, cerdas, dan supel. Sebelum ia terbang ke Paris, wajah dan gayanya banyak menghiasi majalah-majalah ibukota. Aku harus bergerak cepat, pikir Melinda. Kalau tidak, kesempatan emas ini akan disambar orang lain.
Begitu sampai di ruang kerjanya, Pemimpin Redaksi majalah Wanita itu langsung menyambar telepon.
“Halo ? Lia, tolong cari informasi tentang Aida. Segera !”
“Aida Yusuf, Bu ?”
“Ya, saya tunggu.”
“Tapi Bu…”
“Kamu ini bagaimana ? Ini masalah penting !”
“Baik Bu…” suara Lia terdengar gugup.

Melinda menatap rumah mungil nan asri di depannya. Sekali lagi dilihatnya secarik kertas yang dipegangnya. Cocok. Tanpa ragu ia memasuki halaman rumah tak berpagar itu, setelah mengunci pintu BMW nya.
Ting-tong! Ting-tong!
Dari dalam rumah terdengar suara langkah tergesa. Kemudian pintu terbuka. “Ooo… saya pikir Non Aida,” seorang perempuan setengah baya tersenyum lebar memandang wajah Melinda. “Cari siapa, ya ?”
“Saya temannya Aida, Bi.”
“Non Aida sedang mengantar Ahmad ke TQ. Nngg…sebentar lagi pulang,” si Bibi tersenyum. “Silakan duduk dulu !”

Ahmad ? TQ ? Kening Melinda berkerut. Pikiran Melinda masih diliputi tanda tanya ketika si Bibi datang menawarkan minuman. Ia hanya mengangguk dan tersenyum, kemudian diam membisu.
Beberapa saat kemudian sebuah Honda Accord meluncur masuk dan berhenti di samping teras tempat Malinda duduk. Perempuan itu bangkit untuk melihat siapa yang datang. Pintu mobil terbuka. Sorang bocah berseragam hijau muda turun dengan riang. Gemas juga hati Melinda mendengar celotehan anak kecil itu. Namun perhatiannya segera beralih kepada perempuan berkerudung putih yang sedang mengunci pintu mobil. Melinda menatap tak percaya. Aida … Itu Aida ?

“Aku datang sebagai sahabat, Aida,” Melinda menatap mata sebening telaga wanita berjilbab di sampingnya. “Ceritamu ini tidak akan kujadikan obyek berita majalahku. Sungguh.”
Aida menahan nafasnya. Ini kali yang ketiga Melinda datang menemuinya. Hatinya agak ragu. Namun melihat keseriusan wanita itu, akhirnya ia mengalah.
“Dua tahun setelah kepergianku ke Paris, Papa meninggal.” Suara Aida terdengar sendu. “Sejak itu aku seperti kehilangan identitas diri. Aku begitu mencintai Papa.” Kata Aida sambil tertunduk. Berat rasanya menceritakan masa lalu yang te lah lama terkubur. “Mama mendesakku untuk kembali ke Paris. Aku menolak. Tapi Mama terus membujuk. Akupun berangkat dengan hati galau. Tiga bulan pertama aku masih bisa bertahan. Namun setelah itu, diriku hanyut entah kemana. Nyaris aku tenggelam dalam obat bius. Alhamdulillah, aku segera tersadar kalau semua itu hanyalah pelarian belaka”.
“Suatu malam, Michelle datang ke apartemenku. Temanku di sekolah mode itu bicara macam-macam. Memang begitu tingkahnya setiap kali bertamu. Pembicaraan akhirnya lari pada soal emansipasi. Ia memuji-muji wanita barat yang berani menuntut haknya. Kemudian menyindir wanita-wanita timur yang dinilainya kurang agresif. Dengan sikap jijik ia mencela wanita-wanita Eropa yang sudah terkena “virus” Islam yang dikatakannya kolot. Kebetulan saat itu sedang hangat-hangatnya demonstrasi jilbab. Aku melihat sendiri wanita-wanita berjilbab itu memenuhi jalan. Michelle mencela mereka habis-habisan”.
“Tentu saja aku tersinggung, Mbak. Bagaimanapun aku tetap seorang Muslimah. Ketika aku menyatakan hal itu, Michelle terkejut. Ia mengira aku bukan orang Islam. Ia tidak pernah melihatku shalat atau apalah yang menunjukkan keislamanku.
Aku tercenung. Shalat ? Berdo’a saja rasanya amat jarang kulakukan”.

“Hari-hari selanjutnya kugunakan untuk merenung. Lalu sebuah dorongan kuat memaksaku untuk memberi salam seorang wanita berjilbab di perpustakaan umum. Kami berkenalan, dan segera menjadi akrab. Ia banyak bertanya tentang Muslimah Indonesia Aku cerita apa adanya sekadar yang aku tahu. Sarah, wanita asal Inggris itu mengajakku menghadiri pertemuan-pertemuan yang membahas masalah keislaman. Aku sangat tertarik dan kagum. Mereka begitu gigih mempertahankan identitas”.
“Aku mulai shalat. Pertama kali air wudlu menyentuh wajahku, kurasakan kesejukan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Air mataku mengalir deras dalam ruku’ dan sujud”.
“Dua bulan kemudian kutinggalkan sekolah mode. Dan dengan penuh kesadaran kukenakan busana muslimah. Mula-mula memang rikuh Mbak. Tapi aku yakin pada jalan yang kutempuh”. “Ketika Mama datang berkunjung, ia sangat terkejut. Menangis-nangis ia memintaku untuk melepaskan kerudung. Dengan halus aku menolak. Dan untuk yang satu ini aku tidak bersedia mengalah. Mama pulang dengan hati remuk”.

“Atas saran teman-teman dekatku, aku pulang. Namun aku tidak langsung ke Jakarta Mama tidak mau menerima kepulanganku”, lanjut Aida sambil tersenyum.
“Ketika pesawat transit di Singapura, aku menelpon pamanku yang tinggal di Palembang. Alhamdulillah, paman bisa dan sangat memahami keadaanku. Aku tinggal di kota itu dengan aman.”
“Lalu kau menikah di sana ?”
“Ketika seorang ikh…maksudku, seorang laki-laki datang menemui pamanku….” kata-kata Aida mengambang di udara. “Maaf Mbak. Ini sangat pribadi.”
Melinda tertawa kecil. Ia tidak mengerti maksud Aida.
“Kapan tiba di Jakarta ?”
“Awal bulan ini.” Aida membetulkan letak kerudungnya. “Mama yang memintaku. Setelah si kecil Fatiya lahir, hati Mama terbuka. Ia merasa kesepian setelah kakak dan adikku sibuk dengan urusannya masing-masing. Suamiku setuju saja. Ia sendiri berasal dari Jakarta.”
“Kau tidak menyesal, Aida ? Kau kubur masa depanmu sendiri ?” Aida menatap Melinda dalam-dalam.
“Aku tidak akan sanggup menukar kebahagiaan yang dilimpahkan Allah saat ini dengan kehidupan semu. Jalan yang kulalui begitu terang. Dan aku tidak mau terseret dalam kegelapan. Aku bersyukur, Mbak, bisa menjadi istri dan ibu.”

Melinda memalingkan wajahnya. Wanita itu menatap daun-daun mawar dengan pandangan kosong. Angin membelai wajah Melinda, ketika wanita itu membuka sebuah kisi jendela. Dari kamar hotel berbintang lima itu ia mengintip kehidupan malam Jakarta. Kebiasaan yang kerap ia lakukan di ruang kerjanya. Beberapa saat lamanya wanita itu berdiri termangu. Tadi pagi ia melihat Aida di Cibodas. Bahagia sekali Aida ketika memimpin serombongan anak-anak berseragam hijau muda turun dari bis. Ingin rasanya ia menemui Aida. Tapi ia sendiri sedang sibuk memberi instruksi. Beberapa orang model akan diambil gambarnya untuk cover Majalah Wanita. Melinda tersenyum pahit. Ia benar-benar cemburu saat itu.
“Aida…Aku mungkin tak sejujur engkau dalam memandang hidup ini. Aku mungkin tidak mampu melepaskan apa yang aku miliki saat ini. Kita memang berbeda.”

Tok! Tok!
“Yaa, masuk!” Melinda tersentak.
“Maaf, Bu, orang-orang sudah menunggu di lobby.” Lia muncul dari balik pintu.
“Oke saya segera turun.” Melinda menyibakkan rambutnya.
“Kau temui mereka dulu.”

Melinda segera mematut diri. Ia harus tampil sempurna dalam acara pembukaan ini. Kemudian wanita itu segera keluar menyambut para undangan dengan senyum dan gaya ceria. Namun sinar matanya tidak mampu menyembunyikan kepedihan hatinya…

http://sakinah.8k.com/duahati.htm

“Janganlah anda memandang kepada kecilnya dosa itu, tetapi pandanglah siapa yang anda durhakai. Apabila anda memandang besar suatu dosa, berarti anda telah mengagungkan hak Allah. Tetapi bila anda memandang enteng suatu dosa, ia akan menjadi besar dalam pandangan Allah. Dan tiada suatu dosa pun yang anda pandang besar kecuali disisi Allah menjadi kecil. (Ali bin abi Thalib)

Mari mendekat kepada Allah lebih dekat, agar tunduk disaat yang lain angkuh, dan agar teguh dikala yang lain runtuh (Tarbawi)

“Umurmu akan mencair seperti mencairnya es, ” (Imam Ibnul Jauzi) – (Luthfu fil Wa’z, 31)

note : artikel di atas telah dimuat dalam Labbaik edisi no.013/th.02/Rabi’ul Awwal-Rabi’ul Tsani 1426H/2005M


Siapa Bilang Saya Gadis Porno ?

Mei 16, 2006

Kafemuslimah.com. – Gadis itu masih sangat belia. Cantik, muda dan rona merah muda yang biasa hadir di wajah seorang gadis belia terlihat nyata di wajahnya yang cantik. Tubuhnya pun masih amatlah indah. Tak ada garis-garis seperti jeruk purut atau selulit di kulit tubuhnya seperti yang khas dimiliki oleh gadis yang telah beranjak dewasa. Yang ada adalah kulit yang kencang dan bentuk tubuh yang masih utuh sintal. Juga tak tampak sinar “loyo” seperti yang biasa hadir di wanita yang dewasa matang. Yang ada adalah keceriaan. Keceriaan inilah yang mendorong semangat hidup untuk selalu optimis dan berbahagia menghadapi segala sesuatunya yang dihadapi dalam hidup. Optimistik dan pikiran positif pada akhirnya memompa aliran darah ke seluruh tubuh lebih lancar sehingga hadirlah wajah yang dipenuhi rona merah muda dan sumringah yang membuat siapapun senang memandang. Itu yang dimiliki oleh para gadis belia dan memang itu yang dimiliki oleh kelebihan mereka dibanding gadis dewasa matang. Mungkin itu pula sebabnya banyak media massa yang seakan berebut untuk mengabadikan masa muda para gadis belia tersebut sebagai penghias sajian media mereka. Jika diperhatikan, kian hari, pemain sinetron yang muncul di layar televisi kita setiap harinya selalu memunculkan deretan ga dis-gadis yang masih belia. Tayangan sinetron pun banyak bertaburan dengan cerita-cerita seputar dunia remaja. Begitu juga dengan para model.

Terus terang, waktu saya masih SMP dahulu (era 80-an), selalu ada pandangan aneh jika ada teman sebaya yang sudah berani bertingkah seperti orang dewasa. Lipstik adalah sebuah tabu yang harus dihindari oleh pelajar SMP. Ajang model sudah ada dulu, tapi kebanyakan pesertanya adalah mereka-mereka yang hampir tamat SMU. Usianya berkisar antara 17 – 25 tahun. Kian ke depan, ternyata selera ini kian bergeser. Kebetulan adik saya langganan majalah gadis. Setiap kali muncul ajang pemilihan model, maka deretan nama gadis yang menjadi pesertanya adalah gadis-gadis yang masih sangat muda belia. Usianya berkisar antara 12 – 19 tahun. Juga jika kita jalan-jalan ke Mall-Mall, maka sudah menjadi pemandangan yang amat lazim jika melihat gadis SMP yang berdandan bak buruk merak. Lengkap dengan accesoris beraneka warna yang menghiasi tangan, leher dan kaki mereka. Industrialisasi memang telah berhasil merubah persepsi masyarakat terhadap gaya hidup yang pantas.

Tidak berhenti sampai disitu. Eksploitasi kemudaan para belia tersebut ternyata tidak sampai disitu saja. Media massa kini juga mulai melirik lahan bisnis baru. Yaitu menjadikan sensualitas wanita belia sebagai komoditas yang sangat menjanji kan keuntungan. Ya. Jangan kaget jika mode yang dikembangkan saat ini, sebenarnya adalah sebuah alur pembentukan persepsi dalam masyarakat bahwa adalah hak asasi semua manusia untuk memperlihatkan sisi tubuhnya yang terindah. Kalau sudah bicara hak asasi, artinya, tidak ada seorang pun yang boleh melarang tanpa alasan yang jelas. Jadi, jika ada seorang gadis yang wara-wiri dengan gaun super ketat dan super mininya, jangan protes dulu. Alasannya, jika suka boleh lihat kok, gratis, tapi jika tidak suka yah jangan dilihat, sama gratisnya . Dan itulah yang terjadi pada jawaban para gadis model yang telah memutuskan untuk mengambil jalur menampilkan sisi terindah dari tubuh mereka lebih sering dengan menjadi gadis model pakaian minim. Setidaknya itu yang pernah terekam dari acara “Derap Hukum Khusus” di stasiun televisi SCTV, pada tanggal 13 Juli 2004 lalu dengan judul tema, “Pornokah Mereka?”.

Dengan pakaian yang amat minim mereka berpose tanpa malu-malu. Kebanyakan mengan dalkan bentuk payudaranya yang memang aduhai karena berukuran maksi. Pengambilan gambar dilakukan di banyak tempat, di kolam renang, di atas ranjang, di bawah pancuran air, di atas ban, dan sebagainya. Bisa jadi, yang mereka pakai adalah barang dagangan yang sedang dipromosikan. Seperti memperdagangkan ranjang yang nyaman untuk tidur; atau mesin pompa air yang bagus keluar airnya; atau ban mobil yang handal dan terpercaya (apa hubungannya dengan gadis berpakaian mini yang duduk di atas ban tersebut ?). Proses pengambilan gambar para model tersebut, biasanya bermula dari redaksi media massa yang telah memilih dan menentukan mereka sebagai gadis model untuk sesuatu yang ingin ditawarkan. Setelah itu, fotografer dan para modelnya mencari lokasi pemotretan. Seterusnya, untuk gaya yang akan ditampilkan para model inilah yang menentukan apa yang sekiranya “indah”. Tapi kadang bisa juga mendapat arahan dari fotografer yang ingat dengan misi yang ingin dibawa dari pemotretan tersebut. Soal honor untuk para gadis tersebut, biasanya berkisar antara Rp 250.000 hingga Rp 500.000 per sesi pemotretan. Tapi bisa juga tergantung dari nilai jual si model itu sendiri dan oplah media yang mengontrak mereka. Dengan begitu sebenarnya ada hubungan mutualisme antara para gadis model dan produser mereka (media massa). Bagi media massa, mereka memanfaatkan para gadis belia ini untuk menaikkan oplah produksi mereka (sebaiknya suatu saat ada sebuah penelitian khusus. “Apa benar, orang yang membeli ban merek tertentu karena kesengsem dengan gadis model yang duduk di atas ban yang diiklankan? Apa betul ada korelasi antara penjualan mesin printer yang meningkat dengan iklan gadis berpakaian minim yang sedang menggendong mesin printer tersebut?” ). Sedangkan bagi para gadis belia tersebut , mereka memanfaatkan media tersebut untuk menaikkan popularitas mereka sebagai gadis model. Maklum, persaingan sekarang kian ketat, padahal semakin tinggi popularitas yang mereka miliki akan semakin membuat nilai jual mereka miliki juga terderek tinggi.

Lalu, kalau ditanya apakah mereka tidak malu atau sungkan dengan ulah tingkah pose tersebut? Jawabannya tentu saja ‘tidak !’ (kalau malu mah dah pasti mereka pensiun dini). Lalu, apakah mereka merasa bahwa mereka sebenarnya termasuk kategori gadis porno? Sekali lagi jawabannya menurut mereka adalah ‘tidak !’. Kenapa? Ini beberapa alasan mengapa mereka tidak merasa sebagai gadis porno :

– Bagi masyarakat yang berpikiran negatif, tentu saja saya akan dipandang sebagai gadis porno, tapi bagi masyarakat yang berpikiran positif, apa yang saya tampilkan tersebut sama sekali tidak porno. Ini adalah seni dan keindahan .
– Sebenarnya, tidak ada kan landasan apa itu porno? Kalau belum ada mengapa kami harus dituduh dengan sesuatu yang tidak punya landasan? Apa buktinya bahwa kami gadis porno ?
– Porno itu kan tidak berbusana. Telanjang sama sekali. Sangat berbeda dengan apa yang kami lakukan dan tampilkan. Kami masih mengenakan busana kok, tidak seluruhnya tubuh kami terbuka. Itu sebabnya saya heran mengapa diberi cap gadis porno?

Nilai dan norma sudah terbalik ? Jadi sebenarnya siapa yang salah ? Ketidak jelasan standar ini memang tidak bisa dihindari meski sudah ada perangkat undang-undang yang mengatur hal-hal tersebut. Yaitu KUHP pasal 81 ayat 1 yang menyebutkan bahwa barang siapa berpose panas dan telanjang di muka umum akan dikenai sanksi pidana (ini ketentuan undang-undang untuk para gadis model); Serta UU Pres no. 40/99 yang berbunyi barang siapa menyiarkan gambar panas dan telanjang di muka umum akan bisa dikenai sanksi pidana. Perangkat undang-undang tersebut masih menyisakan celah yang bisa dikutak-katik masyarakat. Yaitu definisi telanjang dan panas. Telanjang itu kan artinya tidak berpakaian sama sekali (kalau istilah umumnya, “tanpa sehelai benang pun). Sedangkan argumen mereka yang berkecimpung di dunia tersebut di atas, mereka tidak seperti itu. Masih ada sisa-sisa benang yang cukup banyak yang menutupi bagian-bagian tertentu dari tubuh mereka. Mereka juga berpose biasa-biasa saja, tidak berpose panas.
Itu kata mereka. (“padahal kalau mereka diphoto ketika sedang dipanggang di atas bara api juga mereka tidak mau melakukannya, dan memang tidak ada seorang pun {bahkan mereka yang sangat tolol sekalipun} yang mau melakukannya. Jadi sebenarnya berpose panas itu apa definisinya?”
Di tengah kesimpang siuran pembelaan tersebut, dan proses pembentukan persepsi di masyarakat yang kian menyesatkan, rupanya kita masih harus bersabar dengan proses panjang yang terjadi di DPR/MPR berkenaan dengan pembahasan RUU Anti Pornografi. KENAPA RUU ANTIPORNOGRAFI TIDAK SEGERA DISAHKAN JADI UNDANG-UNDANG, OLEH DPR ? TUNGGU APA LAGI?.

http://www.ikhtiaronline.com/km/detail.php?id=562
note : “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu terdekat”. (QS.Asy-Syu’araa 214), semoga bermanfaat.

note : artikel di atas telah dimuat dalam Labbaik edisi no.013/th.02/Rabi’ul Awwal-Rabi’ul Tsani 1426H/2005M