Assalamu ‘alaikum wr.wb.

September 25, 2008

[rockyou id=115996923&w=426&h=320]


Anak Shaleh Adalah Aset Orang Tua

September 25, 2008

Jamaah rahimakumullah,
Anak adalah buah hati bagi kedua orang tuanya yang sangat disayangi dan dicintainya. Sewaktu bahtera rumah tangga pertama kali diarungi, maka pikiran pertama yang terlintas dalam benak suami istri adalah berapa jumlah anaknya kelak akan mereka miliki serta ke arah mana anak tersebut akan dibawa. Menurut Sunnah, melahirkan anak yang banyak justru yang terbaik. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, yang artinya: “Nikahilah wanita yang penuh dengan kasih sayang dan karena sesungguhnya aku bangga pada kalian di hari kiamat karena jumlah kalian yang banyak.” (HR. Abu Daud dan An Nasa’i, kata Al Haitsamin).

Namun yang menjadi masalah adalah kemana anak akan kita arahkan setelah mereka terlahir. Umumnya orang tua menginginkan agar kelak anak-anaknya dapat menjadi anak yang shalih, agar setelah dewasa mereka dapat membalas jasa kedua orang tuanya. Namun obsesi orang tua kadang tidak sejalan dengan usaha yang dilakukannya. Padahal usaha merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan bagi terbentuknya watak dan karakter anak. Obsesi tanpa usaha adalah khayalan semu yang tak akan mungkin dapat menjadi kenyataan.
Bahkan sebagian orang tua akibat pandangan yang keliru menginginkan agar kelak anak-anaknya dapat menjadi bintang film (artis), bintang iklan, fotomodel dan lain-lain. Mereka beranggapan dengan itu semua kelak anak-anak mereka dapat hidup makmur seperti kaum selebritis yang terkenal itu. Hal ini terjadi akibat orang tua yang sering mengonsumsi berbagai macam acara-acara hiburan di berbagai media cetak dan elektronik, karena itu opininya terbangun atas apa yang mereka lihat selama ini.

Kehidupan sebagian besar selebritis yang banyak dipuja orang itu tidak lebih seperti kehidupan binatang yang tak tahu tujuan hidupnya selain hanya makan dan mengumbar nafsu birahinya. Hura-hura, pergaulan bebas, miras, narkoba, dan gaya hidup yang serba glamor adalah konsumsi sehari-hari mereka. Sangat jarang kita saksikan di antara mereka ada yang perduli dengan tujuan hakiki mereka diciptakan oleh Allah Subhannahu wa Ta’ala, kalaupun ada mereka hanya menjadikan ritualisme sebagai alat untuk meraih tujuan duniawi, untuk mengecoh masyarakat tentang keadaan mereka yang sebenarnya. Apakah kita menginginkan anak-anak kita menjadi orang yang jauh dari agamanya yang kelihatannya bahagia di dunia namun menderita di akhirat ? Tentu tidak. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman, artinya :“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.” (An Nisa: 9).

Pengertian lemah dalam ayat ini adalah lemah iman, lemah fisik, lemah intelektual dan lemah ekonomi. Oleh karena itu selaku orang tua yang bertanggung jawab terhadap anak-anaknya, maka mereka harus memperhatikan keempat hal ini. Pengabaian salah satu dari empat hal ini adalah ketimpangan yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan pada anak.
Imam Ibnu Katsir dalam mengomentari pengertian lemah pada ayat ini memfokuskan pada masalah ekonomi. Beliau mengatakan selaku orang tua hendaknya tidak meninggalkan keadaan anak-anak mereka dalam keadaan miskin. (Tafsir Ibnu Katsir: I, hal 432) Dan terbukti berapa banyak kaum muslimin yang rela meninggalkan aqidahnya (murtad) di era ini akibat keadaan ekonomi mereka yang di bawah garis kemiskinan.

Banyak orang tua yang mementingkan perkembangan anak dari segi intelektual, fisik dan ekonomi semata dan mengabaikan perkembangan iman. Orang tua terkadang berani melakukan hal apapun yang penting kebutuhan pendidikan anak-anaknya dapat terpenuhi, sementara untuk memasukkan anak-anak mereka pada TK-TP Al-Qur’an sebatas formalitas. Padahal aspek iman merupakan kebutuhan pokok yang bersifat mendasar bagi anak.

Ada juga orang tua yang menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan bagi anak-anak mereka dari keempat masalah pokok di atas, namun usaha yang dilakukannya ke arah tersebut sangat diskriminatif dan tidak seimbang.
Sebagai contoh: Ada orang tua yang dalam usaha mencerdaskan anaknya untuk segi intelektual telah melaksanakannya dengan maksimal, segala sarana dan prasarana ke arah tercapainya tujuan tersebut dipenuhinya dengan sungguh-sungguh, namun dalam usahanya memenuhi kebutuhan anak dari hal keimanan, orang tua terlihat setengah hati, padahal mereka telah memperhatikan anaknya secara bersungguh-sungguh dalam segi pemenuhan otaknya. Karena itu sebagian orang tua yang bijaksana, mesti mampu memperhatikan langkah-langkah yang harus di tempuh dalam merealisasikan obsesinya dalam melahirkan anak yang shalih.

Di bawah ini akan kami ketengahkan beberapa langkah yang cukup representatif dan membantu mewujudkan obsesi tersebut:

1. Opini atau persepsi orang tua atau anak yang shalih tersebut harus benar-benar sesuai dengan kehendak Islam berdasarkan Al Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, artinya: “Jika wafat anak cucu Adam, maka terputuslah amalan-amalannya kecuali tiga: Sadaqah jariah atau ilmu yang bermanfaat atau anak yang shalih yang selalu mendoakannya.” (HR. Muslim)
Dalam hadits ini sangat jelas disebutkan ciri anak yang shalih adalah anak yang selalu mendoakan kedua orang tuanya. Sementara kita telah sama mengetahui bahwa anak yang senang mendoakan orang tuanya adalah anak sedari kecil telah terbiasa terdidik dalam melaksanakan kebaikan-kebaikan, melaksanakan perintah-perintah Allah Subhannahu wa Ta’ala, dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Anak yang shalih adalah anak yang tumbuh dalam naungan Dien-Nya, maka mustahil ada anak bisa mendoakan orang tuanya jika anak tersebut jauh dari perintah-perintah Allah SWT  dan senang bermaksiat kepada-Nya. Anak yang senang bermaksiat kepada Allah SWT,  jelas akan jauh dari perintah Allah dan kemungkinan besar senang pula bermaksiat kepada kedua orang tuanya sekaligus.

Dalam hadits di atas dijelaskan tentang keuntungan memiliki anak yang shalih yaitu, amalan-amalan mereka senantiasa berkorelasi dengan kedua orang tuanya walaupun sang orang tua telah wafat. Jika sang anak melakukan kebaikan atau mendoakan orang tuanya maka amal dari kebaikannya juga merupakan amal orang tuanya dan doanya akan segera terkabul oleh Allah Subhannahu wa Ta’ala. Jadi jelaslah bagi kita akan gambaran anak yang shalih yaitu anak yang taat kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala, menjauhi larangan-larangan-Nya, selalu mendoakan orang tuanya dan selalu melaksanakan kebaikan-kebaikan.

2. Menciptakan lingkungan yang kondusif ke arah terciptanya anak yang shalih.  Lingkungan merupakan tempat di mana manusia melaksanakan aktifitas-aktifitasnya. Secara mikro lingkungan dapat dibagi dalam tiga bagian, yaitu:

a. Lingkungan keluarga
Keluarga merupakan sebuah institusi kecil dimana anak mengawali masa-masa partumbuhannya. Keluarga juga merupakan madrasah bagi sang anak. Pendidikan yang didapatkan merupakan fondasi baginya dalam pembangunan watak, kepribadian dan karakternya.
Jika anak dalam keluarga senantiasa terdidik dalam warna keislaman, maka kepribadiannya akan terbentuk dengan warna keislaman tersebut. Namun sebaliknya jika anak tumbuh dalam suasana yang jauh dari nilai-nilai keislaman, maka jelas kelak dia akan tumbuh menjadi anak yang tidak bermoral. Seorang anak yang terlahir dalam keadaan fitrah, kemudian orang tuanyalah yang mewarnainya, Rasulullah SAW  bersabda, artinya :“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan yang fitrah (Islam), maka orang tuanya yang menyebabkan dia menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari)
Untuk itu, orang tua harus dapat memanfaatkan saat-saat awal dimana anak kita mengalami pertumbuhannya dengan cara menanamkan dalam jiwa anak kita kecintaan terhadap diennya, cinta terhadap ajaran Allah Subhannahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallaahu alaihi wa Salam, sehingga ketika anak tersebut berhadapan dengan lingkungan lain anak tersebut memiliki daya resistensi yang dapat menangkal setiap saat pengaruh negatif yang akan merusak dirinya.
Agar dapat memudahkan jalan bagi pembentukan kepribadian bagi anak yg shalih, maka keteladanan orang tua merupakan faktor yg sangat menentukan. Oleh karena itu, selaku orang tua yang bijaksana dalam berinteraksi dengan anak pasti memperlihatkan sikap yg baik, yaitu sikap yg sesuai dengan kepribadian yg shalih sehingga anak dapat dengan mudah meniru dan mempraktekkan sifat-sifat orang tuanya.

b. Lingkungan Sekolah
Sekolah merupakan lingkungan di mana anak-anak berkumpul bersama teman-temannya yang sebaya dengannya. Belajar, bermain, dan bercanda adalah kegiatan rutin mereka di sekolah. Sekolah juga merupakan sarana yang cukup efektif dalam membentuk watak dan karakter anak. Di sekolah anak-anak akan saling mempengaruhi sesuai dengan watak dan karakter yang diperolehnya dalam keluarga mereka masing-masing. Anak yang terdidik secara baik di rumah tentu akan memberi pengaruh yang positif terhadap teman-temanya. Sebaliknya anak yang di rumahnya kurang mendapat pendidikan yang baik tentu akan memberi pengaruh yang negatif menurut karakter dan watak sang anak.
Faktor yang juga cukup menentukan dalam membentuk watak dan karakter anak di sekolah adalah konsep yang diterapkan sekolah tersebut dalam mendidik dan mengarahkan setiap anak didik. Sekolah yang ditata dengan manajemen yang baik tentu akan lebih mampu memberikan hasil yang memuaskan dibandingkan dengan sekolah yang tidak memperhatikan sistem manajemen. Sekolah yang sekedar dibangun untuk kepentingan bisnis semata pasti tidak akan mampu menghasilkan murid-murid yang berkualitas maksimal, kualitas dalam pengertian intelektual dan moral keagamaan.

Kualitas intelektual dan moral keagamaan tenaga pengajar serta kurikulum yang dipakai di sekolah termasuk faktor yang sangat menentukan dalam melahirkan murid yang berkualitas secara intelektual dan moral keagamaan. Oleh sebab itu orang tua seharusnya mampu melihat secara cermat dan jeli sekolah yg pantas bagi anak-anak mereka. Orang tua tidak harus memasukkan anak mereka di sekolah-sekolah favorit semata dalam hal intelektual dan mengabaikan faktor perkembangan akhlaq bagi sang anak, karena sekolah tersebut akan memberi warna baru bagi setiap anak didiknya. Keseimbangan pelajaran yang diperoleh murid di sekolah akan lebih mampu menyeimbangkan keadaan mental dan intelektualnya. Karena itu sekolah yang memiliki keseimbangan kurikulum antara pelajaran umum dan agama akan lebih mampu memberi jaminan bagi seorang anak didik.

c. Lingkungan Masyarakat
Masyarakat adalah komunitas yang terbesar dibandingkan dengan lingkungan yang kita sebutkan sebelumnya. Karena itu pengaruh yang ditimbulkannya dalam mengubah watak dan karakter anak jauh lebih besar.
Masyarakat yang mayoritas anggotanya hidup dalam kemaksiatan akan sangat memengaruhi perubahan watak anak ke arah yang negatif. Dalam masyarakat seperti ini akan tumbuh berbagai masalah yang merusak ketenangan, kedamaian, dan ketentraman. Anak yang telah dididik dengan baik oleh orang tuanya untuk selalu taat dan patuh pada perintah Allah Subhannahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, dapat saja tercemari oleh limbah kemaksiatan yang merajalela di sekitarnya. Oleh karena itu untuk dapat mempertahankan kualitas yang telah terdidik dengan baik dalam institusi keluarga dan sekolah, maka kita perlu bersama-sama menciptakan lingkungan masyarakat yang baik dan kondusif bagi anak.

Masyarakat terbentuk atas dasar gabungan individu-individu yang hidup pada suatu komunitas tertentu. Karena dalam membentuk masyarakat yang harmonis setiap individu memiliki peran dan tanggung jawab yang sama. Persepsi yang keliru biasanya masih mendominasi masyarakat. Mereka beranggapan bahwa yang bertanggung jawab dalam masalah ini adalah pemerintah, para da’i, pendidik atau ulama. Padahal Rasul SAW bersabda, artinya :“Barangsiapa di antaramu melihat kemungkaran hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika ia tidak sanggup maka dengan lidahnya, dan jika tidak sanggup maka dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemah iman.”  (HR. Muslim)

Jika setiap orang merasa tidak memiliki tanggung jawab dalam hal beramar ma’ruf nahi munkar, maka segala kemunkaran bermunculan dan merajalela di tengah masyarakat kita dan lambat atau cepat pasti akan menimpa putra dan putri kita. Padahal kedudukan kita sebagai umat yang terbaik yang dapat memberikan ketentraman bagi masyarakat kita hanya dapat tercapai jika setiap individu muslim secara konsisten menjalankan amar ma’ruf nahi munkar, karena Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman, artinya :“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah…” (Ali Imran: 110).

Amar ma’ruf adalah kewajiban setiap individu masing-masing yang harus dilaksanakan. Jika tidak maka Allah Subhannahu wa Ta’ala pasti akan menimpakan adzabnya di tengah-tengah kita dan pasti kita akan tergolong orang-orang yang rugi. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman, artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali-Imran: 104).
Untuk itu, di akhir khutbah ini marilah kita bersama-sama merasa peduli terhadap kelangsungan hidup generasi kita, semoga dengan kepedulian kita itulah Allah Subhannahu wa Ta’ala akan senantiasa menurunkan pertolongan-Nya kepada kita dan memenangkan Islam di atas agama-agama lainnya. Marilah kita berdo’a kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala.  –  [dari: Artikel Khutbah Jum’at, Maret ‘04]

YAYASAN AL-SOFWA
Jl.Raya Lenteng Agung Barat No.35 PostCode:12810 Jakarta Selatan – Indonesia
Phone : 62-21-78836327. Fax: 62-21-78836326. e-mail: info @alsofwah.or.id |
website: http://www.alsofwah.or.id

Status Anak Hasil Zina Kelak di Akhirat
[Oleh: Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin]

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin ditanya :”Saya pernah mendengar satu hadits yang maknanya, “Sungguh anak zina diharamkan masuk Surga.” Apakah hadits ini shahih ? Kalau benar, apa kesalahan anak tersebut sehingga harus memikul kesalahan dan dosa orang tuanya ?”

Jawaban beliau :”Diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasul  SAW bersabda, artinya: “Anak zina itu menyimpan 3 keburukan.” [Hadits Riwayat Ahmad dan Abu Daud]
Sebagian ulama menjelaskan, maksudnya dia buruk dari aspek asal-usul dan unsur pembentukannya, garis nasab, dan kelahirannya. Penjelasannya, dia merupakan kombinasi dari sperma dan ovum pezina, satu jenis cairan yang menjijikkan (karena dari pezina) sementara gen itu terus menjalar turun temurun, dikhawatirkan keburukan tersebut akan berpengaruh pada dirinya untuk melakukan kejahatan. Dalam konteks inilah, Allah menepis potensi negatif dari pribadi Maryam dengan firman-Nya, artinya: “Ayahmu sekali-kali bukanlah seorang penjahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina” [Maryam: 28]. Walaupun demikian adanya, dia tidak dibebani dosa orang tuanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, artinya: “Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” [Al-An’am: 164]
Pada prinsipnya, dosa dan sanksi zina di dunia dan akhirat hanya ditanggung oleh orang tuanya. Tetapi dikhawatirkan sifat bawaan yang negatif itu akan terwarisi dan akan membawanya untuk berbuat buruk dan kerusakan. Namun hal ini tidak selalu menjadi acuan, kadangkala Allah akan memperbaikinya sehingga menjadi manusia yang alim, bertakwa lagi wara’, dengan demikian menjadi satu kombinasi yang terdiri atas tiga komponen yang baik. Wallahu a’alam. – [Fatawa Islamiyah 4/125]

[Disalin dari kitab Fatawa Ath-thiflul Muslim, edisi Indonesia 150 Fatwa Seputar Anak Muslim, Yahya bin Sa’id Alu Syalwan, Penerjemah Ashim, Penerbit Griya Ilmu]
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=mo re&article_id=1364&bagian=0

note : artikel di atas telah dimuat dalam Labbaik, edisi : 040/th.04/Jummadil Akhir-Rajab 1429H/2008M


Orang Tua Tidak Rela Saya Masuk Islam

September 25, 2008

(oleh : Ikhsan Nur Ramadhan Vincsar Hadipraba)

Sejak kecil saya sudah kenal Islam. Saya sering melihat pembantu shalat. Kebetulan kakek saya (dari bapak) adalah muslim. Selain itu saya juga senang mendengarkan suara orang adzan atau ngaji. Tetapi sejauh itu dalam hati saya belum terbersit keinginan untuk cari tahu apa makna semua itu.
Semasa kuliah, salah seorang teman pernah memberi tahu bahwa Tuhan itu satu. Ia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Ketika mendengar penjelasan itu, saya cuek saja. Saya tetap kukuh pada keyakinanku, karena yang saya tahu hanya konsep bahwa tuhan itu tiga dalam satu, Trinitas. Dan saya belum tahu apa-apa mengenai wacana ketuhanan yang dipercayai agama lain.

Namun begitu, sewaktu saya kuliah di Riau, dalam hati saya selalu ada keinginan untuk selalu aktif di gereja. Tapi hal itu akhirnya gagal terlaksana, karena saya tidak diakui oleh pastur di sana. Ceritanya, saya itu bisa main musik secara otodidak. Suatu hari saya mendatangi pastur seraya mengajukan permohonan untuk bisa menjadi pengiring organ di gereja. Tapi jawaban pastur selalu kurang mengenakkan hati saya. Bahkan ditanya ini-itu.
“Kamu punya sertifikat Yamaha nggak ?”, tanyanya.
Saya heran. “Lho, yang penting kan saya bisa memainkan organ ?”.
“Oo, tidak bisa. Nanti kalau permainan musikmu kacau malah bikin suasana tidak khusu’ di gereja,” ujarnya.
“Ya sudahlah. Saya lebih baik mengembangkan karir saya di luar saja, daripada  di gereja,” ungkap saya kesal. Akhirnya memang saya lebih dikenal di luar daripada di lingkungan gereja. Di kampus UNRI kalau orang bertanya “siapa Igo ?” (panggilan saya sebelum menjadi muslim), maka semua orang akan tahu. Tetapi kalau di Gereja ditanya “siapa Igo ? ”  , maka orang akan balik bertanya, “si Igo yang mana ya ?”. Oleh karena itu saya kecewa dengan kejadian itu.

Sejak tahun 1996 saya pindah ke Jakarta. Dan saya bekerja di Mac Donald. Awalnya memang enak, karena setiap Sabtu-Minggu libur, jadi saya bisa ikut kebaktian. Tetapi lama kelamaan setiap Sabtu Minggu pun harus masuk kerja. Sehingga saya tidak bisa ke Gereja. Maka saya berpikir, ‘Enak ya, jadi orang Islam. Setiap hari bisa bertemu dengan Tuhannya. Sehari lima kali bermeditasi (shalat), fikiran dan batin akan menjadi fresh.’ Sedangkan saya, pulang kerja saja sudah capai, lalu kapan bisa beribadah ?’.
Sampai dengan akhir 1998 ketika saya masih tinggal di gang H. Saimin, Ciputat. Saya sering kumpul-kumpul dengan teman-teman. Kebetulan ketua pemudanya, yang biasa kami panggil Bang Hans, sering mengajak kami ngobrol dan diskusi. Selain itu kami juga berlatih musik di sebuah garasi, sampai akhirnya kami mendirikan grup musik yang kami beri nama Garasi.

Sekitar selama tujuh bulan, setiap saya pulang kerja, saya tidak langsung tidur. Sambil istirahat kami sering ngobrol sama teman-temen di lingkungan kost. Suatu hari kami kedatangan H.Sofwan Muzamil, temannya Bang Hans. Dan ternyata beliau merasa suka dan cocok bergabung bersama kami, sehingga beliau sering datang ke tempat kami biasa kumpul.
Suatu hari ketika mau mendatangi tempat saya biasa kumpul-kumpul itu, saya datang terlambat. Setelah saya ikut mendengarkan obrolan mereka, ternyata mereka sedang membahas tentang agama Islam. Pak haji Sofwan sedang menjelaskan tentang Islam, dan terlihat cukup detail. Sampai-sampai saya pun menjadi suka mendengarkan dan terus mengikutinya.
Mengetahui karakter Pak haji yang tidak sombong itu, membuat saya jadi ingin mendekati beliau. “Pak haji saya tertarik masuk Islam,” kata saya. “O, tunggu dulu, saya tidak mengajarkan kamu agar masuk Islam. Tapi sekedar memberi penjelasan bahwa beginilah Islam,” jawabnya.

Beberapa hari kemudian saya melihat beliau lagi di tempat kami biasa ngumpul, dan saya senang bisa terus mendengarkan mereka berdiskusi. Sehingga menjadikan  keinginan saya untuk masuk Islam semakin kuat. Saya menjadi rajin mencari-cari pengetahuan tentang Islam dari berbagai sumber. Hal itu saya lakukan, karena Pak haji sudah bilang bahwa, dalam Islam itu tidak ada paksaan bagi manusia untuk memeluknya. “Saya tidak mau mengajari kamu tentang Islam, tapi kalau kamu tertarik dengan Islam, carilah sendiri sumber-sumbernya,” ujar Pak haji. Pesan itulah yang pada kelanjutannya membuat saya terus berusaha membuka-buka buku tentang kesaksian orang-orang yang masuk Islam (buku kisah tentang para muallaf) milik teman kostku.

Selama ini saya tidak pernah menemukan bahasan tentang isi injil secara detail. Dan inilah salah satu perbedaan antara Katolik dan Protestan. Kalau di Protestan , Injil dikupas cukup mendalam. Juga dalam sebuah buku yang pernah saya baca terdapat kalimat yang menjelaskan bahwa Yesus berkata, ‘Saya harus pergi, sebab kalau tidak pergi dia (si penghibur) itu tidak akan datang. Dan kalau dia datang, dia akan berkata-kata apa yang didengarkannya dari Allah.’
Sang penghibur itu dalam bentuk kiasan, tidak lain adalah nabi Muhammad. Di dalam Bibel berbahasa Inggris disebutnya sebagai “the helper”. Dan karena nabi Muhammad diangkat menjadi rasul, dimana pada saat itu keadaan umat manusia sedang dalam kondisi kacau (jahiliyah).
Ketika membaca penjelasan itu bergetar hati saya. Lho, bener ini. Saya buka injil (Yohanes) lagi, ternyata benar. Injil yang lain tidak mengupas mengenai itu.

Menjelang lebaran tepatnya pada tanggal 17 Januari 1999 di sebuah mushala di Ciputat saya mengucapkan dua kalimat syahadat, dibimbing oleh H.Sofwan Muzamil. Nama saya ditambah dengan kata Ikhsan Nur Ramadhan. Sebelum masuk Islam, sebagaimana anjuran Pak haji, saya terus mempelajari Islam dari berbagai sumber, terutama dari buku-buku tentang Islam, termasuk tentang bagaimana cara-cara beribadah. Di samping itu saya juga banyak bertanya kepada sama calon istri saya.

Setelah menjadi muslim cobaan yang saya hadapi ternyata cukup berat. Di antaranya, saya ditolak mentah-mentah oleh keluarga. Padahal sebelum saya menyatakan keinginan saya untuk masuk Islam di bawah bimbingan pak haji Sofwan, saya sudah bilang (memberi tahu) kepada orang tua. Dan orang tua saya menanggapinya dengan berbagai argumen yang terkesan sinis. Intinya mereka tidak setuju. Oleh karena itu saya pun akhirnya masuk Islam secara diam-diam. Dan baru setelah selang beberapa waktu kemudian, baru saya memberi tahu kepada orang tua.
Sejauh itu saya tetap berusaha menjaga hubungan antara saya dengan orang tua (ayah) dan adik agar selalu baik. Namun tinggal kakak dan ibu yang saya sampai sekarang belum mau mengerti juga.

Belum lama ini kakak saya melihat KTP saya, lalu dia nanya. “Namanya kok kamu ganti?  Ignatiusnya mana ?”, tanyanya.
“Lho, saya kan sudah jadi muslim, mengapa tetap memakai nama itu ?” jawab saya. Pendirian saya, yang penting nama pemberian orang tua masih saya pakai. Sedang kan Ignatius itu nama baptis saya. Penjelasan inilah yang pada akhirnya membuat  saya dianggap “sudah tidak menghargai orang tua lagi.
Cobaan kedua, pada acara pernikahan kami orang tua dan sanak saudara nggak hadir seorang pun. Padahal mereka diundang. Kalau bapak saya memang sakit, sedangkan ibu sebenarnya sudah kasih restu cuman beliau masih berat hati. Terus Pak De saya yang muslim juga diundang, tapi nggak datang juga, mungkin karena nggak enak sama keluarga saya. Maklumlah mereka Katolik aktif. Saya yakin dari hubungan anak orang tua, mereka ingin datang, tapi karena terbentur beda akidah sehingga nggak seorang pun yang datang. Padahal sebelum nikah saya dalam keadaan ‘krisis’. Saya hanya yakin bahwa Allah akan menolong hambanya. Akhirnya pernikahan berjalan juga. Alhamdulillah sampai sekarang apa yang saya inginkan dikabulkan-Nya. *

http://www.bahtera-iman.com/kisah.htm
note : artikel di atas telah dimuat dalam Labbaik, edisi : 040/th.04/Jummadil Akhir-Rajab 1429H/2008M


Mendidik Anak, Berkacalah Pada Luqman

September 25, 2008

[dari : Republika, Dialog Jumat, 22 Juni 2007]

Luqman adalah seorang ahli hikmah. Namun tentang siapa dan dari mana asal usul tokoh yang sangat melegenda itu, para ulama ahli tafsir memiliki pendapat yang berbeda-beda. Abdullah bin Umar Al Khattab berkata :”Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, yang artinya ‘Dengan Sesungguhnya aku berkata bahwa Luqman bukanlah seorang nabi, tetapi seorang hamba yang dilindungi Tuhan, banyak bertafakur dan baik keyakinannya. Ia mencintai Allah dan Allah pun mencintainya. Karena itu ia dianugerahi hikmah kebijaksanaan.” (Mutafaq ‘Alaih). Yang pasti, nama Luqman diabadikan menjadi salah satu nama surat dalam Alquran. Nasihat Luqman kepada anaknya yang disampaikan secara bijak, sebagaimana disebutkan dalam surat Luqman (31) ayat 13 sampai 19 adalah model ideal pendidikan anak dalam Islam.

Dalam Islam, wasiat Luqman al-Hakim dalam mendidik anak-anaknya perlu senantiasa dipegang orang tua Muslim, karena petuah-petuahnya dinukilkan dalam Alquran. Dan Alquran menghidangkan petuah dan wasiat bagaimana Lukman mendidik anaknya dalam satu surat khusus yang diberi nama surat Lukman, khususnya pada ayat 13 sampai 19. “Luqman adalah sumber terbaik untuk diambil hikmahnya berkaitan dengan pendidikan anak,” ujar Ali Nurdin, dekan Fakultas Ushuluddin Perguruan Tinggi Ilmu Quran (PTIQ), Jakarta. Doktor tafsir Alquran ini melanjutkan, “kendati sosok Lukman di kalangan mufassirin hingga kini masih menjadi perdebatan, namun nilai penting yang bisa diambil dari kisah Lukman adalah upaya maksimal yang telah dia lakukan untuk mendidik anak-anaknya. Tak perlu diributkan bagaimana Luqman mencapai posisi yang mulia dengan pencantuman namanya dalam Alquran. “Lebih penting adalah bagaimana mengambil pelajaran dari upaya ikhtiar yang dia lakukan dalam mendidik anak.”

Menurut Syarif Hade Masyah, dosen Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab, Luqman diyakini sebagai seorang pria yang hidup antara masa Nabi Musa dan Nabi Muhammad SAW di daerah sekitar Pantai Kultsum (Laut Merah) atau di daerah Ramallah, Palestina. Dalam beberapa keterangan, Luqman disebutkan sebagai seorang budak berkulit hitam yang terkenal dengan nasihat-nasihatnya yang bijak. “Karena pada zamannya tidak ada figur lain yang bisa dijadikan panutan, maka nasehat-nasehat Lukman selalu dipakai orang-orang di zamannya”. “Kebijaksanaan Luqman yang paling menonjol, sebagaimana termaktub dalam Alquran, yaitu wasiat yang diberikan Lukman kepada anaknya. “Sehingga kalangan mufassirin Alquran meyakini wasiat Lukman itu adalah teknik khusus untuk kaum Adam dalam mendidik anak,” ujar Syarif. (lihat Wasiat Luqman di hlm 3).

Bila mencermati wasiat-wasiat Luqman dalam Alquran, setidaknya ada tiga poin pokok yang perlu diamati dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari para orang tua agar anak-anaknya lahir dan tumbuh sebagai muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT.
Poin pertama, yaitu masalah ketauhidan (iman). Sebelum mengajarkan sesuatu hal yang lain pada anak-anaknya, Luqman menetapkan kerangka dasar keimanan kepada Allah SWT sebagai landasan utama membentuk pribadi anak yang shalih. Ajarannya juga disampaikan dengan kasih sayang. Walaupun demikian, pemilihan redaksi kata ‘Yaa Bunayya’ (wahai anak-anakku) yang digunakan Lukman dalam menyerukan keimanan kepada anak-anaknya, sangat menyiratkan kalau orang tua juga perlu memperhatikan sentuhan kasih sayang dan kelembutan dalam mendidik anak-anak mereka. “Kata Ya Bunayya ini mengandung rasa manja, kelembutan, dan kemesraan. Ini artinya, orang tua tidak perlu menanamkan keimanan secara indoktrinasi, penuh ancaman, dan tanpa empati.”

Poin kedua, yaitu kemampuan Luqman yang dikaruniai Allah dalam memilihkan mana-mana hal prioritas untuk diberikan kepada anak-anak. Dalam penjabaran Surat Lukman ayat 13-19, “Luqman memanfaatkan rahmat kecerdasan dan kebersihan hatinya untuk lebih dulu menanamkan keimanan sebelum melangkah pada muatan-muatan syariat dan akhlak.”

Adapun pada poin ketiga, Luqman mencontohkan bagaimana setiap nilai-nilai prinsip dari ajaran-ajaran agama lebih efektif bila disampaikan dengan menyertai argumen-argumen yang kuat. Pendidikan Luqman adalah pendidikan yang menyeluruh dan lengkap meliputi asas-asas aqidah, ibadat, akhlak dan dakwah. Oleh sebab itulah Allah telah merekamkan pendidikan Luqman itu untuk dijadikan contoh kepada umat Islam sepanjang zaman. Namun di luar itu semua, kisah Luqman juga membukakan mata kita, bahwa dalam Islam, pendidikan anak bukan mutlak kewajiban kaum ibu, tetapi juga kaum ayah.
Semoga kita bisa menjadi seorang “Luqman” bagi anak-anak kita !

http://cahaya-islam.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=44

Rukhsah dalam Permainan Anak-Anak

Kalau macam daripada patung itu tidak dimaksudkan untuk diagung-agungkan dan tidak berlebih-lebihan serta tidak ada suatu unsur larangan di atas, maka dalam hal ini Islam tidak akan bersempit dada dan tidak menganggap hal tersebut suatu dosa. Misalnya permainan anak-anak berupa pengantin-pengantinan, kucing-kucingan, dan binatang-binatang lainnya. Patung-patung ini semua hanya sekedar pelukisan untuk permainan dan menghibur anak-anak.
Oleh karena itu kata Aisyah, yang artinya :”Aku biasa bermain-main dengan anak-anakan perempuan (boneka perempuan) di sisi Rasulullah s.a.w. dan kawan-kawanku datang kepadaku, kemudian mereka menyembunyikan boneka-boneka tersebut karena takut kepada Rasulullah SAW., tetapi Rasulullah SAW malah senang dengan kedatangan kawan-kawanku itu, kemudian mereka bermain-main bersama aku.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)

Dan riwayat lain disebutkan, yang artinya :”Sesungguhnya Rasulullah SAW pada suatu hari bertanya kepada Aisyah :”Apa ini ?”. Jawab Aisyah :”Ini anak-anak perempuanku (boneka perempuanku); kemudian Rasulullah bertanya lagi :”Apa yang di tengahnya itu ?”. Jawab Aisyah :”Kuda”. Rasulullah bertanya lagi :”Apa yg di atasnya itu ?”. Jawab Aisyah :”Itu dua sayapnya”. Kata Rasulullah :”Apa ada kuda yang bersayap ?”. Jawab Aisyah :”Belumkah engkau mendengar, bahwa Sulaiman bin Daud AS mempunyai kuda yang mempunyai beberapa sayap ?”. Kemudian Rasulullah tertawa sehingga nampak gigi gerahamnya.” (Riwayat Abu Daud)

Yang dimaksud anak-anak perempuan dalam hadits di atas ialah boneka pengantin yang biasa dipakai permainan oleh anak-anak kecil. Sedang Aisyah waktu itu masih sangat belia. Imam Syaukani mengatakan :”Hadits ini menunjukkan, bahwa anak-anak kecil boleh bermain-main dengan boneka (patung). Tetapi Imam Malik melarang laki-laki yang akan membelikan boneka untuk anak perempuannya. Dan Qadhi Iyadh berpendapat bahwa anak-anak perempuan bermain-main dengan boneka perempuan itu suatu rukhsah (keringanan). Termasuk sama dengan permainan anak-anak, yaitu patung-patungan yang terbuat dari kue-kue dan dijual pada hari besar (hari raya) dan sebagainya kemudian tidak lama kue-kue tersebut dimakannya.

http://www.arrosa.net/news.cfm?id=4

“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka ?  Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar”. (QS.Al Mu’minuun : 55-56)

“Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir”. (QS.At Taubah : 55)
note : artikel di atas telah dimuat dalam Labbaik, edisi : 040/th.04/Jummadil Akhir-Rajab 1429H/2008M


Apakah Anak yang Terlahir Dari Keluarga Muslim Otomatis Menjadi Muslim ?

September 25, 2008
Pertanyaan :
Assalaamu’alaikum wr. wb.
Pengasuh Rubrik Konsultasi yang dimulaikan Allah, saya adalah seorang yang memeluk agama Islam sejak 1992 yang lalu, sebelumnya saya pemeluk Kristen Katholik. Alhamdulillah, Allah telah memberi saya hidayah-Nya yang teramat besar sehingga saya dapat mengikuti agama yang HAQ, yaitu Islam. Berkenaan dengan hal tersebut diatas, saya ada pertanyaan yang sangat sulit saya carikan jawabannya, yaitu : Melihat rukun Islam yang lima itu, dimana Ikrar dengan mengucapkan dua kalimat syahadat adalah merupakan gerbang pertama yang harus dilalui seseorang yang akan memeluk agama Islam. Dan itu telah saya lalui dengan selamat, Alhamdulillah. Pertanyaanya adalah : Apakah seseorang anak yang dilahirkan dalam keluarga Islam, maka secara otomatis dia juga beragama Islam ? Walau sampai dewasa (atau bahkan sampai dia meninggal) tidak pernah dia berikrar dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, sebagaimana yang telah saya lakukan ? Demikian pertanyaan ini saya sampaikan, mohon jawaban yang lengkap termasuk dalil-dalil yang ada, agar saya tidak salah dalam bersikap dalam membesarkan anak. Semoga pengasuh rubrik Konsultasi ini selalu dalam lindungan dan ridha Allah. Amin.

Wassalaamualaikum wr. wb. –
(Muhammad Yusuf Satria)

Jawaban :
Saudara Muhammad Yusuf yang disayang Allah,
Alhamdulillah, Allah telah menyelamatkan Anda dari kegelapan menuju sinar cahaya petunjuk yang terang. Sungguh nikmat yang sangat agung yang tak bisa ditukar walau dengan dunia seisinya. Mengenai pertanyaan Anda, Rasulullah saw. bersabda dalam sebuah hadits sahih, “Sesungguhnya, setiap yang terlahir pasti dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci, memeluk Islam). Kedua orang tuanyalah yang kemudian menjadikan anak itu Yahudi, Nashrani, ataupun Majusi (penyembah api). ” Lihat juga surah Al-A’raf 112 yang menerangkan bahwa Allah sudah meminta persaksian dan ikrar seorang bayi dikandungan bahwa Allah adalah yang harus ia sembah.

Berdasarkan hadits di atas dipahami bahwa bayi yang lahir di dunia, apapun latar belakang orang tuanya, ia adalah bayi yang lahir dalam keadaan Islam. Jika kemudian dia tumbuh dalam keluarga Islam, maka ia memang menjadi muslim dan akan tetap menjadi muslim apabila dia tidak melakukan hal-hal yang dapat membatalkan dan menggugurkan keislamannya. Namun Apabila dia kemudian melakukan hal yang membatalkan keislaman, secara substansial dia bukan lagi seorang muslim, meskipun ia menyandang gelar atau dikenal sebagai muslim.
Sebenarnya untuk dianggap menjadi muslim, seseorang tidak cukup hanya mengucapkan syahadat saja. Tetapi ia harus melaksanakan segala konsekwensinya sebagai muslim. Sebab Islam ataupun Iman adalah mencakup keyakinan dan pembenaran dalam hati, ikrar dengan lisan, dan diaplikasikan dalam perbuatan nyata. Seperti harus menunaikan kewajiban salat, puasa, harus berakhlak baik, dan lain-lainnya.

Semoga Allah selalu melimpahkan kedamaian, kasih sayang dan berkahnya kepada Anda sekeluarga, dan semoga Allah senantiasa membimbing kita ke jalan yang diridhai-Nya. Amin. Wallahu a’lam.

PUSAT INFORMASI DAN KOMUNIKASI ISLAM INDONESIA – http://www.alislam.or.id

“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (QS. Al Mu’minuun : 55-56)

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. (QS.Al Hadiid : 20)

note : artikel di atas telah dimuat dalam Labbaik, edisi : 040/th.04/Jummadil Akhir-Rajab 1429H/2008M