Pencarian Makna

“Kamu kenapa banyak sekali sholatnya ? Apa tidak capek, kan itu mengganggu ritme kerja”, tanya Berti, temanku dari Jerman. Itu kira-kira diskusi awal kami tentang sholat.

Berbagai pertanyaan muncul, dan butuh jawaban. Kadang beberapa pertanyaan menimbulkan perdebatan, jawaban yang menurutnya kurang logis akan mengalami penolakan, dan tentu saja tak mudah menghadirkan jawaban yang bisa mereka cerna. “Kenapa ya, setiap saya bertanya sama beberapa orang Islam, mereka selalu menjawab bahwa itu perintah Allah, udah ada dalam Al Quran, dan Hadist ?”, itu pertanyaan yang biasa dilontarkan beberapa temanku yang non muslim dan datang dari negara-negara maju. Aku mikir juga, padahal jawaban mereka itu bener lho. Toh secara mendasar desain hidup manusia menurut Allah memang untuk beribadat, dan yang pasti gak bisa ditawar. Wama a Khalaqtul Jinna wal Insa Illa liya’buduun. Tapi kenapa jawaban itu tak memuaskan mereka ? Menurutku, karena mereka sudah terbiasa berpikir logis, jadi kita mesti memberikan jawaban yang sejalan dengan pikiran mereka. Kalau aku ngeliat harfiah kita sebagai manusia, yang diberikan akal, berarti Allah udah menyuruh kita untuk berfikir, menggali semua potensi langit dan bumi (QS. 55:33)
“Hai jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan”. Dan ayat-ayat-Nya yang sarat dengan makna yang perlu digali. Toh, Allah sendiri juga tak suka dengan muslim yang hanya membawa-bawa kitab-Nya tapi tak tahu maknanya. Walau kita tahu kalau sikap kita terhadap perintah Allah adalah sami’na wa atha’na sesuatu yang tak bisa ditawar lagi.

Trus, kenapa kita masih mencari makna ? Karena manusia diberi akal untuk berpikir, dan dengan berpikir itu melanjutkan proses keimanan agar meningkatkan ketaqwaan. Jadi, pencarian makna itu semata-mata menambah keimanan dan ketaqwaan.

Kultur kita yang sebagian besar membentuk keislaman kita. Masyarakat Islam kita sebagian besar terlahir sebagai muslim, dan mereka menjalani hidup dengan tetap berpredikat sebagai muslim, namun yang membedakan apakah mereka menjalankan islam keturunan dan kewajiban, atau menjalankan islam dengan mencari dan memahami islam itu sendiri. Beberapa yang hanya “islam KTP” toh akhirnya dengan mudah dipengaruhi dan meninggalkan Islam demi sebuah pernikahan, pekerjaan, dsb. Dan kita juga tahu kalau seorang berilmu, yang menggali makna untuk meningkatkan ke taqwaannya, punya nilai lebih dibanding dengan ahli ibadah yang seharian membaca al qur’an dan menegakkan sholat, namun tidak tahu maknanya.
Dengar saja lirik lagunya Bimbo :
Ada anak bertanya pada bapaknya. Buat apa berlapar-lapar puasa.
Ada anak bertanya pada bapaknya. Tadarus tarawih apalah gunanya.

Dari lirik itu secara mudah kita simpulkan, bahwa perintah dan larangan Allah itu pasti ada makna dibaliknya. Aku kadang jadi miris juga, denger jawaban orangtua ke anaknya yang menanyakan hal diatas,”Hus, kerjakan saja. Itu udah perintah Allah, jadi tinggal dijalankan saja kalau gak nanti berdosa”. Dengan bekal seperti itu dari kecil, bagaimana generasi berikutnya ? Bagaimana mereka tidak menjadi gamang dalam menjalankan keislamannya, sementara dari kecil mereka tidak pernah diperkenalkan dengan makna keislaman itu sendiri.

Lapar mengajarmu rendah hati selalu.
Tadarus artinya memahami kitab suci.
Tarawih mendekatkan diri pada Illahi.

http://www.eramoslem.com/

Note : artikel di atas telah dimuat dalam Labbaik edisi : 003/th.01/rabi’ul akhir 1424H/2004M

Tinggalkan komentar