Ada Apa dengan Valentine’s Day ?

April 4, 2006

Pada bulan Februari kita selalu menyaksikan media massa, mal-mal, pusat-pusat hiburan bersibuk-ria berlomba menarik perhatian para remaja dengan menggelar pesta perayaan yang tak jarang berlangsung hingga larut malam bahkan hingga dini hari. Semua pesta tersebut bermuara pada satu hal yaitu Valentine’s Day. Biasanya mereka saling mengucapkan “selamat hari Valentine”, berkirim kartu dan bunga, saling bertukar pasangan, saling curhat, menyatakan sayang atau cinta karena anggapan saat itu adalah “hari kasih sayang”. Benarkah demikian?

The World Book Encyclopedia (1998) melukiskan banyaknya versi mengenai Valenti ne’s Day : “Some trace it to an ancient Roman festival called Lupercalia. Other experts connect the event with one or more saints of the early Christian church. Still others link it with an old English belief that birds choose their mates on February 14. Valentine’s Day probably came from a combination of all three of those sources–plus the belief that spring is a time for lovers.” (Perayaan Lupercalia adalah rangkaian upacara pensucian di masa Romawi Kuno (13-18 Februari). Dua hari pertama, dipersembahkan untuk dewi cinta (queen of fever ish love) Juno Februata. Pada hari ini, para pemuda mengundi nama-nama gadis di dalam kotak. Lalu setiap pemuda mengambil nama secara acak dan gadis yang namanya keluar harus menjadi pasangannya selama setahun untuk senang-senang dan obyek hiburan. Pada 15 Februari, mereka meminta perlindungan dewa Lupercalia dari gangguan srigala. Selama upacara ini, kaum muda melecut orang dengan kulit bina tang dan wanita berebut untuk dilecut karena anggapan lecutan itu akan membuat mereka menjadi lebih subur.)

Ketika agama Kristen Katolik masuk Roma, mereka mengadopsi upacara ini dan mewarnainya dengan nuansa Kristiani, antara lain mengganti nama-nama gadis dengan nama-nama Paus atau Pastor. Di antara pendukungnya adalah Kaisar Konstantine dan Paus Gregory I (lihat: The Encyclopedia Britannica, sub judul: Christianity). Agar lebih mendekatkan lagi pada ajaran Kristen, pada 496 M Paus Gelasius I men jadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi Hari Perayaan Gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St Valentine yang kebetulan mati pada 14 Febru ari (lihat: The World Book Encyclopedia 1998).

The Catholic Encyclopedia Vol. XV sub judul St.Valentine menuliskan ada 3 nama Valentine yang mati pada 14 Februari, seorang di antaranya dilukiskan sebagai yang mati pada masa Romawi. Namun demikian tidak pernah ada penjelasan siapa “St. Valentine” termaksud, juga dengan kisahnya yang tidak pernah diketahui ujung-pangkalnya karena tiap sumber mengisahkan cerita yang berbeda. Menurut versi pertama, Kaisar Claudius II memerintahkan menangkap dan memenjara kan St. Valentine karena menyatakan tuhannya adalah Isa Al-Masih dan menolak menyembah tuhan-tuhan orang Romawi. Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan. Orang-orang yang mendambakan doa St.Valentine lalu menulis surat dan menaruhnya di terali penjaranya. Versi kedua menceritakan bahwa Kaisar Claudius II menganggap tentara muda bujangan lebih tabah dan kuat dalam medan peperangan dari pada orang yang menikah. Kaisar lalu melarang para pemuda untuk menikah, namun St.Valentine melanggarnya dan diam-diam menikahkan banyak pemuda sehingga iapun di tangkap dan dihukum gantung pada 14 Februari 269 M (lihat: The World Book Encyclopedia, 1998).

Kebiasaan mengirim kartu Valentine itu sendiri tidak ada kaitan langsung dengan St. Valentine. Pada 1415 M ketika the Duke of Orleans dipenjara di Tower of London, pada perayaan hari gereja mengenang St.Valentine 14 Februari, ia mengirim puisi kepada istrinya di Perancis. Kemudian Geoffrey Chaucer, penyair Inggris mengkaitkannya dengan musim kawin burung dalam puisinya (lihat: The Encyclopedia Britannica, Vol.12 hal.242 , The
World Book Encyclopedia, 1998).

Lalu bagaimana dengan ucapan “Be My Valentine?” Ken Sweiger dalam artikel “Should Biblical Christians Observe It?” (www.korrnet.org) mengatakan kata “Valentine” berasal dari Latin yang berarti : “Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Yang Maha Kuasa”. Kata ini ditujukan kepada Nimrod dan Lupercus, tuhan orang Romawi. Maka disadari atau tidak, -tulis Ken Sweiger- jika kita meminta orang menjadi “to be my Valentine”, hal itu berarti melakukan perbuatan yang dimurkai Tuhan (karena memintanya menjadi “Sang Maha Kuasa”) dan menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala. Dalam Islam hal ini disebut Syirik, yang artinya menyekutukan Allah SWT. Adapun Cupid (berarti: the desire), si bayi bersayap dengan panah adalah putra Nimrod “the hunter” dewa Matahari. Disebut tuhan Cinta karena ia rupawan sehingga di buru wanita bahkan ia pun berzina dengan ibunya sendiri! Itulah sejarah Valentine’s Day yang sebenarnya, yang seluruhnya tidak lain bersumber dari paganisme orang musyrik, penyembahan berhala dan penghormatan pada pastor. Bahkan tak ada kaitannya dengan “kasih sayang”, lalu kenapa kita masih juga menyambut Hari Valentine? Adakah ia merupakan hari yang istimewa? Adat? Atau hanya ikut-ikutan semata tanpa tahu asal muasalnya? Bila demikian, sangat disayangkan banyak teman-teman kita -remaja putra-putri Islam yang terkena penyakit ikut-ikutan mengekor budaya Barat dan acara ritual agama lain. Padahal Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman yang artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertangggung-jawabannya” (Al Isra’ : 36).Keinginan untuk ikut-ikutan memang ada dalam diri manusia, akan tetapi hal tersebut menjadi tercela dalam Islam apabila orang yang diikuti berbeda dengan kita dari sisi keyakinan dan pemikirannya. Apalagi bila mengikuti dalam perkara akidah, ibadah, syi’ar dan kebiasaan. Padahal Rasul SAW telah melarang untuk mengikuti tata cara peribadatan selain Islam : “Barang siapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum tersebut.” (HR. At-Tirmidzi). Bila dalam merayakannya bermaksud untuk mengenang kembali Valentine maka tidak disangsikan lagi bahwa ia telah kafir. Adapun bila ia tidak bermaksud demikian maka ia telah melakukan suatu kemungkaran yang besar. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata, “Memberi selamat atas acara ritual orang kafir yang khusus bagi mereka, telah disepakati bahwa perbuatan tersebut haram. Semisal memberi selamat atas hari raya dan puasa mereka, dengan mengucapkan, “Selamat hari raya!” dan sejenisnya. Bagi yang mengucapkannya, kalau pun tidak sampai pada kekafiran, paling tidak itu merupakan perbuatan haram. Karena berarti ia telah memberi selamat atas perbuatan mereka yang menyekutukan Allah. Bahkan perbuatan tersebut lebih besar dosanya di sisi Allah dan lebih dimurkai dari pada memberi selamat atas perbuatan minum khmar atau membunuh. Banyak orang yang kurang mengerti agama terjerumus dalam suatu perbuatan tanpa menyadari buruknya perbuatan tersebut. Seperti orang yang memberi selamat kepada orang lain atas perbuatan maksiat, bid’ah atau kekufuran maka ia telah menyiapkan diri untuk mendapatkan kemarahan dan kemurkaan Allah.” Abu Waqid ra meriwayatkan: Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam saat keluar menuju perang Khaibar, beliau melewati sebuah pohon milik orang-orang musyrik, yang disebut dengan Dzaatu Anwaath, biasanya mereka menggantungkan senjata-senjata mereka di pohon tersebut. Para sahabat Rasulullah berkata, “Wahai Rasul Allah, buatkan untuk kami Dzaatu Anwaath, sebagaimana mereka mempunyai Dzaatu Anwaath.” Maka Rasulullah SAW bersabda, “Maha Suci Allah, ini seperti yang diucapkan kaum Nabi Musa, ‘Buatkan untuk kami tuhan sebagaimana mereka mempunyai tuhan-tuhan.’ Demi Dzat yang jiwaku di tangan Nya, sungguh kalian akan mengikuti kebiasaan orang-orang yang ada sebelum kalian.” (HR. At-Tirmidzi, ia berkata, hasan shahih).

Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah ketika ditanya tentang Valentine’s Day mengatakan : “Merayakan hari Valentine itu tidak boleh, karena :
Pertama: ia merupakan hari raya bid’ah yang tidak ada dasar hukumnya di dalam syari’at Islam.
Kedua : ia dapat menyebabkan hati sibuk dengan perkara-perkara rendahan seperti ini yang sangat bertentangan dengan petunjuk para salaf shalih (pendahulu kita) – semoga Allah meridhai mereka. Maka tidak halal melakukan ritual hari raya, baik dalam bentuk makan-makan, minum-minum, berpakaian, saling tukar hadiah atau lainnya. Hendaknya setiap muslim merasa bangga dengan agamanya, tidak menjadi orang yang tidak mempunyai pegangan dan ikut-ikutan. Semoga Allah melindungi kaum muslimin dari segala fitnah (ujian hidup), yang tampak ataupun yang tersembunyi dan semoga meliputi kita semua dengan bimbingan-Nya. Amin.

Maka adalah wajib bagi setiap orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat untuk melaksanakan wala’ dan bara’ (loyalitas kepada muslimin dan berlepas diri dari golongan kafir) yang merupakan dasar akidah yang dipegang oleh para salaf shalih yaitu mencintai orang-orang mu’min dan membenci dan menyelisihi (membedakan diri dengan) orang-orang kafir dalam ibadah dan perilaku. Di antara dampak buruk menyerupai mereka adalah: ikut mempopulerkan ritual-ritual mereka sehingga terhapuslah nilai-nilai Islam. Dampak buruk lainnya, bahwa dengan mengikuti mereka berarti memperbanyak jumlah mereka, mendukung dan mengikuti agama mereka, pada hal seorang muslim dalam setiap raka’at shalatnya membaca, “Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (Al-Fatihah:6-7). Bagaimana bisa ia memohon kepada Allah agar ditunjuk kan kepadanya jalan orang-orang yang mukmin dan dijauhkan darinya jalan golongan mereka yang sesat dan di murkai, namun ia sendiri malah menempuh jalan sesat itu dengan sukarela. Lain dari itu, mengekornya kaum muslimin terhadap gaya hidup mereka akan membuat mereka senang serta dapat melahirkan kecintaan dan keterikatan hati. Allah SWT berfirman, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.

Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah:51)”Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” (Al-Mujadilah: 22)Ada seorang gadis mengatakan, bahwa ia tidak mengikuti keyakinan mereka, hanya saja hari Valentine tersebut secara khusus memberikan makna cinta dan suka citanya kepada orang-orang yang memperingatinya. Ini adalah suatu kelalaian, padahal sekali lagi: Perayaan ini adalah acara ritual agama lain, hadiah yang diberikan sebagai ungkapan cinta adalah sesuatu yang baik, namun bila dikaitkan dengan pesta-pesta ritual agama lain dan tradisi-tradisi Barat, akan mengakibatkan seseorang terobsesi oleh budaya dan gaya hidup mereka. Mengadakan pesta pada hari tersebut bukanlah sesuatu yang sepele, tapi lebih mencerminkan pengadopsian nilai-nilai Barat yang tidak memandang batasan normatif dalam pergaulan antara pria dan wanita sehingga saat ini kita lihat struktur sosial mereka menjadi porak-poranda.

Alhamdulillah, kita mempunyai pengganti yang jauh lebih baik dari itu semua, sehingga kita tidak perlu meniru dan menyerupai mereka. Di antaranya, bahwa dalam pandangan kita, seorang ibu mempunyai kedudukan yang agung, kita bisa mempersembahkan ketulusan dan cinta itu kepadanya dari waktu ke waktu, demikian pula untuk ayah, saudara, suami …dst, tapi hal itu tidak kita lakukan khusus pada saat yang dirayakan oleh orang-orang kafir. Semoga Allah Subhannahu wa Ta’ala senantiasa menjadikan hidup kita penuh dengan kecintaan dan kasih sayang yang tulus, yang menjadi jembatan untuk masuk ke dalam Surga yang hamparannya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. Menyampaikan Kebenaran adalah kewajiban setiap Muslim.

(sumber : Buletin Annur Online , Pekan 1 Zulhijah 1423)
Oleh : Fakta – Tanggal 05 Feb 2004 – 12:45 am http://swaramuslim.net/more.php?id=1428_0_1_0_M
note : “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu terdekat”. (QS.Asy-Syu’araa 214), semoga bermanfaat.

Islam adalah agama yang tidak terikat oleh territorial geografis. Islam adalah agama yang tidak terikat oleh suku, bangsa, etnis, rasis, nasionalisme. Islam adalah agama yang tidak terikat oleh ideologi apapun, apalagi ideology materialistis atau ideologi kepentingan. Bahkan Islam agama yang tidak terikat oleh sekedar darah keturunan. Yang mengikat Islam hanyalah Allah dan Rasul-Nya……….

Maka yang paling mulia diantara hamba-hamba Allah bukan siapa yang bicara atau yang mendengar, bukan siapa yang tua atau yang muda, tetapi siapa diantara kita yang paling pandai, paling pintar, paling tekun mendekatkan diri kepada-Nya. “Sesungguhnya siapa yang paling mulia diantara hamba-hamba-Ku adalah siapa di antara mereka yang paling bertaqwa” (QS Al Hujurat: 13). – (KH.Arifin Ilham)

Dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash r.a. berkata: Saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu pengetahuan dari seorang hamba begitu saja, tetapi akan mencabutnya dengan matinya orang-orang alim hingga apabila telah habis orang-orang alim maka orang banyak akan mengangkat orang-orang yang bodoh untuk menjadi pemimpin mereka. Lalu jika mereka ditanya, mereka akan memberikan fatwa tidak berdasarkan ilmu pengetahuan. Maka mereka itu sesat dan menyesatkan.” (HR.Bukhari – Muslim)

Dari Abu Musa (Abdullah) bin Qais al-asy’ary r.a. berkata: Rasulullah saw ditanya mengenai orang-orang yang berperang karena keberanian, karena kebangsaan atau karena kedudukan manakah diantara semua itu yang disebut fisabilillah?. Rasulullah saw menjawab, “Siapa yang berperang semata-mata untuk menegakkan kalimatullah (agama Allah) maka itulah fisabilillah.” (HR.Bukhari – Muslim)

“Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat”. (HR.Bukhari)

ORANG YANG BERPEGANG DENGAN AGAMANYA SEPERTI MEMEGANG BARA API

Daripada Anas r.a. bekata, Rasulullah saw. bersabda, “Akan datang kepada umatku suatu zaman di mana orang yang berpegang kepada agamanya laksana menggenggam bara api”. (H.R. Tirmizi)
Keterangan : Yang dimaksudkan di sini ialah zaman yang sangat kacau, sehingga siapa yang hendak mengamalkan ajaran agamanya ia terpaksa menghadapi kesusahan dan tentangan yang sangat hebat. Kalau ia tidak bersungguh-sungguh, niscaya agamanya terlepas dari genggamannya. Ini adalah disebabkan suasana di sekelilingnya tidak mendukung untuk menunaikan kewajiban agamanya, bahkan apa yang ada di sekelilingnya mendorong untuk membuat kemaksiatan dan perkara-perkara yang dapat meruntuhkan aqidah dan keimanan atau paling kurang menyebabkan kefasiqan. lni juga berarti , orang Islam terjepit dalam melaksanakan tuntutan agamanya, di samping tidak mendapat kemudahan.

note : artikel di atas telah dimuat dalam Labbaik edisi no.010/th.01/DzulQoidah-Dzulhijjah 1425H/2005M


Musibah, rahmat atau murka Allah ?

April 4, 2006

(oleh : Prof. DR.M. Quraish Shihab, Metro TV)

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, tiada suatu wujud yang dipuji dan dipuja walau dalam bencana kecuali kepada Allah. Jangan menggerutu, jangan bersangka buruk kepada Tuhan. Pujilah Dia walau dalam bencana. Memang pasti banyak pertanyaan yang muncul. Setiap ada musibah, setiap ada malapetaka, pasti kita bertanya-tanya. Mengapa demikian ? Apalagi malapetaka ini yang demikian besar, yang sementara orang mengatakan “tidak mampu lagi dipikul oleh manusia”.

Kita boleh bertanya, kita boleh mencari tahu, tetapi sekali lagi jangan bersangka buruk kepada Tuhan, tapi bersangka baiklah kepadaNya. Allah Rabbul ‘Alamin. Dia pemelihara seluruh Alam. Dia mengatur keseimbangan alam raya ini. Terkadang diambilnya disini sedikit, untuk diberinya disana. Diberinya disana banyak untuk diserahkan kemari. Karena Dia pemelihara seluruh alam. Dalam surah Ar Rahman, Allah berfirman : “Seluruh makhluk yang ada di alam raya ini, bermohon kepada Tuhan, dan setiap saat Tuhan melayani mereka”. Kita tidak hanya hidup di dunia, karena itu jangan mengukur sesuatu dengan ukuran dunia saja. Masih ada hidup yang jauh lebih panjang. Mereka yang menderita di dunia, belum tentu menderita di akhirat. Dan kata orang, tidak jarang ada hari-2 dimana kita menangis, setelah berlalu hari-2 itu kita menangis lagi, merenung, mengapa dulu kita menangis ?. Kita tidak tahu banyak hal, karena itu Allah berfirman :”Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu padahal baik buat kamu”, boleh jadi kamu tidak senang kepada sesuatu tapi di balik itu Allah menjadikan kebaikan yang banyak buat kamu.

Itu prinsip-2 dasar setiap kita menghadapi musibah. Sekali lagi jangan menggerutu. Silahkan menangis. Rasulpun sewaktu mendapat musibah, beliau menangis. Sahabat-2nya bertanya, apa ini wahai Rasul ? Beliau bersabda : “Ini adalah pertanda rahmat dan kasih sayang, kita tidak berucap kecuali apa yang diridhai Allah”. Mari kita lihat lembaran-lembaran Al-Quran, bagaimana uraiannya tentang musibah. Sebenarnya ada paling tidak ada 4 kata yang digunakan Al-Quran untuk menggambarkan sesuatu yang tidak berkenan di hati seseorang, diantaranya :

– Musibah (sudah masuk perbendaharaan bahasa Indonesia),
– Bala’ (sudah masuk juga dalam perbendaharaan bahasa Indonesia),
– Fitnah (masuk dalam perbendaharaan bahasa Indonesia, tetapi dalam pengertian yang lain
– Fitnah dalam bahasa Al-Quran, artinya ujian atau siksaan),
– Imtihan (ujian yang maknanya melapangkan qalbu seseorang.

Tujuan dari setiap ujian adalah melapangkan qalbunya sehingga kualitasnya naik). Kita akan bahas 2 dari keempat kata tersebut yaitu Musibah dan Bala’. Musibah dalam bahasa Indonesia diartikan bencana, kemalangan, cobaan. Dalam AlQuran ada 67 kali kata yang seakar dengan kata ‚musibah’ dan 10 kali kata ‚musibah’. Musibah pada mulanya berarti sesuatu yang menimpa atau mengenai. Sebenarnya sesuatu yang menimpa itu tidak selalu buruk. Hujan bisa menimpa kita dan itu dapat merupakan sesuatu yang baik. Memang kata musibah konotasinya selalu buruk, tetapi karena boleh jadi apa yang kita anggap buruk itu, sebenarnya baik, maka AlQuran menggunakan kata ini untuk sesuatu yang baik dan buruk.

Memang Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa “tidak disentuh seseorang oleh musibah kecuali karena ulahmu”, tetapi disisi lain, ketika AlQuran berbicara tentang Bala’, dikatakannya musibah itu datang dari Allah swt. Tidak ada musibah yang terjadi kecuali atas ijin Allah ketika kita berbicara tentang Bala’ (yang diartikan juga bencana). Sebenarnya Bala’ pada mulanya berarti menguji bisa juga berarti menam pakkan. Seseorang yang diuji itu dinampakkan kemampuannya. Hidup ini adalah ujian. Itu sebabnya Allah swt menyatakan :”Allah yang menciptakan hidup dan mati, untuk menguji kamu, untuk melihat bagaimana kualitas kamu, siapa yang diantara kamu yang lebih baik amalnya”. Kita lihat ujian/bala’ datangnya dari Tuhan. “Kami pasti akan menguji kamu sampai Kami tahu siapa orang-2 yang berjihad di jalan Allah dan bersabar”. Allah menurunkan bala’ tanpa campur tangan manusia. “Kami pasti menurunkan sedikit rasa takut, sedikit rasa lapar, kematian sanak keluarga”. “Berilah berita gembira kepada orang2 yang sabar”.

Hidup ini ujian. Ujian ini bisa berupa sesuatu yang disenangi, bisa juga berbentuk sesuatu yang tidak disenangi. Siapa yang menduga bahwa kekayaan dan kesehatan adalah tanda cinta Tuhan ? Dia telah keliru. Siapa yang menduga bahwa suatu hal yang terasa negatif adalah tanda benci Tuhan ? Itupun dia telah keliru. Allah mengecam kepada orang-2 yang apabila diberi nikmat oleh Tuhan, lantas berkata “saya disenangi Tuhan”, dan kalau Tuhan menguji dia sehingga mempersempit hidupnya, dia lantas berkata “Tuhan membenci saya, Tuhan menghina saya”. Jangan duga, saudara-2 kita di Aceh yang meninggal dan ditimpa musibah, dibenci Tuhan. Jangan duga, yang menderita itu dimurkai Tuhan. Jangan duga yang berfoya-2 disenangi Tuhan. “KALLAA” (TIDAK). Disini Allah menggunakan kata BALA’ -yang artinya menguji, karena itu jangan cepat-cepat berkata bahwa bencana itu murka Tuhan.

Dulu jaman Nabi, banyak sahabat gugur di medan perang, terluka sekian banyak sahabat Nabi, bahkan Nabipun terluka. Allah swt pasti tidak benci pada Nabi, sehingga beliau terluka. Allah pasti merestui sahabat-2 yg gugur itu, walaupun mereka menderita. Ketika itu turun ayat :”Jangan merasa rendah hati, jangan merasa terhina, jangan larut dalam kesedihan. Kamu adalah orang-2 yang mendapat kedudukan yang tinggi selama kamu beriman”. Di Surat Ali Imran, Allah berfirman, tujuan Allah turunkan cobaan ini adalah supaya Allah mengangkat dari kalangan kamu sebagai syuhada’. Kita bisa berkata bahwa yang gugur mendapatkan bencana ini, disiapkan oleh Tuhan tempat yang tinggi, karena mereka adalah orang-2 mukmin. Dan tujuan Allah turunkan bencana ini adalah supaya Allah mengetahui siapa orang2 yang benar-2 beriman dan yang tidak. Karena itu jangan menggerutu, karena Allah memberikan tempat yang sebaik-2nya. Allah berfirman bahwa Allah juga akan membersihkan hati kamu dan menghapus dosa-2 kamu.

Melihat kondisi saudara-2 kita di Aceh, kita jadi sedih, kita menjadi menangis , tapi agama mengingatkan kita semua bahwa Tuhan punya tujuan. Dalam hidup ini, Allah menciptakan orang-2 untuk tujuan-2 tertentu. Dalam sebuah hadits, Allah menciptakan makhluk-2 yang ditugaskannya untuk memenuhi kebutuhan makhluknya yang lain. Ada orang-2 kaya yang diberi kekayaan, yang sebenarnya dipilih Allah agar orang-2 itu memberi bantuan kepada orang-2 yang butuh. Mudah-2an kita termasuk orang-2 yang dipilih Allah itu. Ada lagi orang-2 yang diciptakan Allah untuk menjadi alatnya Tuhan untuk mengingatkan orang lain. Para syuhada’ ini adalah alat-2 yang dipilih Allah. Itu sebabnya kita baca di dalam Al Quran ada istilah “IBADULLOHIL MUKHLASHIN atau hamba-2 Allah yang dipilih”.
Sekarang ini banyak orang yang lengah dan lupa kepada Allah. Memang rutinitas sering menjadikan kita lupa kepada Allah. Karena itu kita perlu diingatkan. Ada orang-2 yang tidak menyadari adanya Allah karena melihat segala sesuatu berjalan harmonis. Tuhan ingin mengingatkan orang-2 tersebut, bahwa jangan duga Allah telah lepas tangan. Diingatkannya manusia melalui bencana. Kalau dulu sekian banyak orang yang lupa Allah, sekarang Dia mengingatkan kita melalui rahmatNya. Itu sebabnya di dalam AlQuran, disebutkan :”Apakah mereka tidak sadar bahwa setiap tahun Kami mencoba mereka, Kami menurunkan ujian kepada mereka supaya mereka sadar, supaya mereka bertaubat ?”.

Jadi sekali lagi, saya (Quraish Shihab) tidak melihat ini sebagai murka Allah. Ini rahmatNya kepada kita yang hidup, supaya kita ingat kepada Allah, supaya lebih dalam lagi solidaritas kita, supaya kita lebih dekat lagi kita kepada Allah, supaya lebih terasa lagi kehadiran Allah. Dan yang gugur, yang luka, yang menderita itu dijadikan oleh Allah sebagai alat-2Nya untuk mengingatkan kita, itulah mereka yang dinamai dengan “Ibadullohil Mukhlashin atau Hamba2 Allah yang terpilih”. Dia pilih orang-2 yang gugur, Dia pilih anak-2, Dia pilih orang-2 yang tidak berdosa, Dia pilih orang-2 tua, untuk Dia jadikan syuhada, Dia jadikan saksi-2, Dia jadikan alat-2Nya. Untuk siapa ? Untuk kita yang hidup. Allah tidak menyia-2kan mereka. Di dalam hadits, Allah katakan, Seandainya bukan karena anak-2 yang masih menyusu, seandainya bukan karena orang tua yang sedang bungkuk, seandainya bukan karena binatang-2, niscaya Allah akan menjatuhkan siksa kepada kamu, siksaan yang luar biasa. Tapi mengapa yang diambil olehNya disana anak-2, orang tua, binatang ? Itu yang menjadikan kita bersangka baik kepada Allah dan menyatakan bahwa ini bukan murka, ini hanya peringatan. Kita terima itu. Peringatan untuk kita yang hidup. Kita tidak perlu larut dalam kesedihan, tetapi kita perlu mengambil pelajaran. Salah satu pelajaran adalah kita lihat di televisi, kita lihat badan-2 mereka, rupanya begitulah badan kita. Jangan terlalu memberi perhatian kepada badan, namun melupakan ruh. Itu pelajaran yang dapat kita angkat. Jangan menilai orang dari penampilannya. Lihatlah itu semua, dan ingat dalam Al Quran, Allah berulang kali, apakah penduduk negeri itu merasa aman, bahwa peringatan Kami datang secara tiba-2 ketika mereka sedang bermain-2. Ini yang kita lihat. Ini sebenarnya kiamat kecil, bahkan boleh jadi yang mengalaminya tak menduga itulah kiamat.

TIBA-2, begitulah jadinya nanti. Sebenarnya tujuannya adalah untuk kita. Allah merahmati kita dengan memberi peringatan. Belum sampai pada murkaNya, dan jangan duga itu murkaNya.
Ketika Sayyidina Ali bin Abi Thalib, ditikam, beliau berteriak : “Demi Allah, saya telah memperoleh keberuntungan”. Beruntung karena mati. Allah mengangkat derajat beliau, Allah mendudukkan pada kedudukan yang demikian tinggi karena mati syahid. Nah, kalau kita membaca ayat di Surat Ali Imran :”… supaya Dia mengangkat diantara kamu Syuhada (orang-2 yang menjadi saksi) dan untuk membersihkan hati kamu dari segala macam dosa'”. Untuk orang-2 yang meninggal, kita antar dengan rasa sedih tetapi dalam saat yang sama beruntunglah mereka. Dan yang tinggal, kita harapkan mendapatkan pelajaran dari ujian ini, dari bencana ini. Mudah-2an kita dapat menyusul mereka dalam kematian yang diridhai Allah. Itu sebabnya ada doa yang diajarkan Nabi :”Wahai Allah, kami bermohon kepadamu, hidup yang sebaik-2nya, dan kematian yang sebaik-2nya, serta segala yang baik yang berada diantara hidup dan mati. Ya Allah, hidupkanlah kami dalam kehidupan orang-2 yang bahagia, kehidupan orang-2 yang Engkau senangi agar dia tetap hidup, dan wafatkanlah dalam wafat orang-2 yang syahid (orang-2 yang Engkau sukai untuk bertemu dengannya).

Ya Allah, ampunilah orang-2 yang meninggal dan yang masih hidup, anak-2 kecil, orang-2 dewasa, baik yang perempuan maupun yang laki-2″. “RABBANAA AATINA FIDDUNYA HASANAH WA FIL AKHIRATI HASANAH WA QINA ADZABANNAR” (Ya Tuhanku, berilah kepadaku kehidupan dunia yang baik, kehidupan akhirat yang baik dan jauhkan kami dari siksa api neraka)

http://blog.efx2.com/user/aceh/Refleksi%20sahabat/

“Amal (yang menentukan) itu tak lain adalah amalan yang terakhir” (HR.Bukhari)

note : artikel di atas telah dimuat dalam Labbaik edisi no.009/th.01/Syawwal – DzulQoidah 1425H/2005M


Hati-hati Al-Qur’an Palsu !!!

April 4, 2006

Berbagai cara ditempuh oleh kaum kuffar untuk memurtadkan umat Islam. Al-Qur’an, kitab suci dan pedoman hidup umat Islam jadi komoditi pemurtadan.

Al-Qur`an Imitasi
Seorang pastor evangelis Amerika yang mengaku kelahiran Palestina, mengarang Al-Qur’an imitasi bernama “Al-Furqanul-Haqq” (The True Furqan), yang diterbitkan oleh lembaga yang menyebut dirinya Komite Eksekutif Proyek Omega 2001. Pastor yang bernama asli Dr.Anis A. Shorrosh itu memakai nama samaran Al-Safee dan Al-Mahdi dalam kitab ini. Al-Qur’an tiruan pendeta ini sontak menggegerkan umat karena disebarkan ke internet. Bahkan edisi cetaknya beredar sampai ke Jawa Timur sejak akhir April 2002 di kantong-kantong Muslim seperti Jombang, Bangil, dan Madura. Isinya berupa tiruan terhadap surat dalam al-Quran. Kitab setebal 368 halaman dengan sampul depan warna hijau bertuliskan kaligrafi Arab warna emas ini memuat beberapa nama surat, di antaranya: surat Al-Iman, At-Tajassud, Al-Muslimun, dan Al-Washaya. Semua isinya memuji-muji Yesus. Gaya penyajian dan pilihan bahasa Arab klasik yang dipakai dalam Qur’an palsu ini, agak mirip gaya bahasa Al-Qur’an. Bagi orang yang tidak memahami seluk-beluk bahasa Arab secara mendalam, bisa terkecoh, mengira The True Furqan sebagai Al-Qur’an. Sebab kata “Al-Furqan” sendiri sinonim dengan kata “Al-Qur’an.” Tujuan penyebaran Al-Furqanul-Haqq ke tengah-tengah masyarakat Muslim ini jelas terbaca, yaitu untuk menanamkan keraguan umat Islam terhadap kitab suci Al-Qur’an. Targetnya, agar umat Islam memandang Al-Qur’an sebagai kitab yang sudah menyimpang. Otentisitas Al-Qur’an memang tidak bisa diganggu gugat, karena Allah sendiri yang menjamin keasliannya.
Allah menyatakan dalam Al-Qur’an: “Sesungguhnya Kami menurunkan adz-Dzikr (Al-Qur`an) ini dan sungguh Kamilah Penjaganya” (Al-Hijr 9). Imam Ibnu Katsir menyatakan, makna ayat di atas adalah bahwa Allah SWT menjadi penjaga Al-Qur’an dari perubahan atau pergantian (Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhîm, II, hlm. 666). Karenanya, secara i’tiqadi, Al-Qur’an senantiasa terjaga dari perubahan, penggantian, perombakan, atau peniruan apapun. Semuanya dijamin oleh Allah SWT. Meski demikian, bukan berarti upaya kaum kuffar untuk memanipulasi dan menggerogoti Al-Qur’an berhenti. Maka mereka menempuh untuk mengaburkan keyakinan umat Islam terhadap Al-Qur’an. Mereka inginkan agar umat Islam tidak meyakini Al-Qur’an sebagai wahyu Allah, karena bisa ditandingi dengan Al-Qur’an tiruan yang bernama Al-Furqaul-Haqq (The True Furqan).

Pelesetan Al-Qur`an untuk Misi
Selain ada Al-Qur’an palsu, bertebaran pula buku-buku plesetan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits. Ayat-ayat suci ini dikutip sepotong-sepotong lalu dirakit sehingga tersimpulkan seolah-olah tuhan dan juru selamat manusia adalah Nabi Isa alias Yesus Kristus. Bentuk pelesetan ini dipublikasikan dalam buku-buku dan brosur. Buku-buku pelesetan Al-Qur’an yang sudah beredar antara lain :
– Keselamatan di dalam Islam,
– Ayat-ayat Penting di dalam Islam,
– As-Shodiqul Masduq (Kebenaran Yang Benar),
– As-Sirrullahil-Akbar (Rahasia Allah Yang Paling Besar),
– Selamat Natal Menurut Al-Qur’an,
– Telah Kutemukan Rahasia Allah Yang Paling Besar,
– Ya Allah Ya Ruhul Qudus,
– Aku Selamat Dunia dan Akhirat,
– Wahyu Tentang Neraka,
– Wahyu Keselamatan Allah, dan lain-lain.

Buku-buku pelesetan karya Poernama Winangun :
– “Upacara Ibadah Haji”,
– “Ayat-ayat Al-Qur’an Yang Menyelamatkan”,
– “Isa Alaihis Salam Dalam Pandangan Islam”,
– “Siapa kah Yang Bernama Allah” dan
– “Riwayat Singkat Pusaka Peninggalan Nabi Muhammad saw”.

Contoh brosur pelesetan :
– brosur Dakwah Ukhuwah,
– brosur Shirathal Mustaqim dan
– brosur Al-Barakah.
Judulnya antara lain :
– Rahasia Jalan ke Surga,
– Allahu Akbar Maulid Nabi Isa as,
– Kesaksian Al-Qur’an tentang Keabsahan Taurat dan Injil,
dan lain-lain.

Isi buku dan brosur pelesetan rata-rata sama, yaitu mengutip dan mencomot Al-Qur’an dan Hadits yang diramu dan dicocok-cocokkan tanpa mengindahkan kaidah tafsir, untuk mendukung doktrin kristiani bahwa Nabi Isa (Yesus) adalah Tuhan dan Juruselamat penebus dosa manusia.

Al-Qur`an Bergambar Yesus
Al-Qur’an bercover Yesus terungkap di SLTP 1 Pakan Kamis, Kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Pagi itu, Kamis (17/5), di ruang kelas I-1 ada dua siswa tampil ke depan hendak membacakan ayat suci Al-Qur’an, namun batal. Ketika salah seorang dari mereka dengan siku tangannya tanpa sengaja menggeser Al-Qur’an, kitab suci itu terjatuh. Secepatnya ia menangkap, meski hanya dapat cover-nya. Sementara saat, Al-Qur’annya terjatuh. Para siswa kaget. Bukan karena Al-Qur’an itu jatuh, tetapi lebih pada pemandangan yang mereka lihat di pelapis dalam cover tebal. Di sana, tertempel kertas bertuliskan huruf-huruf Latin, antara lain, “Yesus Kristus” yang kemudian diikuti sejumlah kalimat lain. Pada bagian lain terbaca pula kata-kata “Bunda Mariah, domba gembala, gereja” serta bait-bait lagu gereja. Karena kertas itu dilem ke cover Al-Qur`an, sehingga ketika dibuka, kata-kata yang ada di sana ikut tercopot sehingga tidak terbaca semuanya.
Spontan, para siswa pun berteriak. Irmawati, seorang guru agama, sebelumnya mengaku tak percaya. Setelah melihat Al-Qur’an yang terjatuh ada tulisan tersebut, barulah ia mempercayainya. “Saya sangat kaget,” katanya. Ia langsung mengadukan itu kepada kepala sekolah. Irmawati juga mengaku memiliki Al-Qur’an sejenis yang di belakang covernya ada kata-kata Yesus, Budha, Wihara, dan entah apa lagi. Kasus itu pun dibawa ke Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang kemudian diteruskan ke kepolisian.
Kata-kata Yesus Kristus dengan huruf Latin ini dibuat pada sampul dalam Al-Qur’an. Persisnya di tulang tempat helai demi helai Al-Qur’an dilem dan dijahitkan. Kalau kulit Al-Qur’an tidak dicopot, maka tulisan Yesus Kristus dan sejumlah bait lagu-lagu gereja yang ditulis di situ tidak akan pernah diketahui. Kepsek Jufrialdi mengatakan pada akhir Februari 2004, ia bertemu dengan tokoh masyarakat Tilatang Kamang, Buya Haji Usman Husen. Karena Usman orang ternama, apalagi ia ketua Golkar Kabupaten Agam serta anggota DPRD Sumbar, maka Jufrialdi meminta agar sekolahnya dibantu pengadaan Al-Qur’an dan mukena.
Pada 3 Maret 2004, di saat-saat kampanye legislatif, orang suruhan Usman, Linda, membeli 200 buah Al-Qur’an di Toko Asria di Pasar Aur Kuning, Bukittinggi. Karena jumlahnya banyak, Kepsek Jufrialdi berinisiatif membagikan ke sekolah-sekolah lain. Sebanyak 60 buah Al-Qur’an tinggal di SLTP 1, sisanya, sebanyak 20 buah diberikan ke SLTP 2, 10 untuk SLTP 3, 10 untuk SLTP 4, dan 20 untuk SLTP 5, serta sisanya untuk SMA I yang semuanya berada di Kecamatan Tilatang Kamang. Kapolresta Bukittinggi, AKBP M Zaini, mengatakan pihaknya kini sedang melakukan penyidikan secara khusus atas kasus tersebut. “Saya tidak mau gegabah, nanti malah salah kaprah,” katanya. Sejumlah saksi telah diperiksa, termasuk pemilik toko yang menjual Al-Qur`an itu. Sementara, toko-toko lainnya tidak menjual Al-Qur`an sejenis. Kakanwil Depag Sumbar Dalimi Abdullah menyatakan pihaknya telah membawa surat dan dua Al-Qur’an itu ke Menteri Agama. Sedangkan Ketua MUI Sumbar, Nasrun Haroen, menegaskan masih mencari informasi lebih dalam atas masalah itu. Salah seorang Ketua MUI Sumbar, Buya Mas’oed Abidin, menyatakan pemerintah harus bertindak, sebab kalau diam, rakyat akan marah. “Ini tidak bisa dikatakan sebagai sebuah kelalaian, mungkin di dalamnya ada unsur kesengajaan dan ini pelecehan terhadap Islam,” tegasnya.
Tokoh masyarakat Tilatang Kamang, Usman Hoesen, yang menyumbangkan Al-Qur’an itu menyatakan yang bermasalah dari Al-Qur`an itu adalah kulitnya (cover-nya), bukan ayat-ayat di dalamnya. Al-Qur`an yang “disusupi” itu, katanya, berkulit merah. Dari 200 buah yang dibeli, ada 141 buah yang “disusupi” kata-kata Yesus Kristus, sementara sisanya bersih. Yang disusupi itu merupakan Al-Qur’an keluaran tahun 1994 yang dicetak Percetakan Madu Jaya Makbul Surabaya. Sementara yang bersih dicetak PT Tanjung Emas Inti Semarang. Di Mapolres saat ini ada 60 buah Al-Qur`an yang diambil dari SLTP I, lainnya masih di kecamatan.

Sementara itu, di Jakarta beredar buku putih berjudul Isa Almasih di dalam Al-Qur’an dan Hadits. Buku putih setebal 73 halaman ini jelas diluncurkan missionaris untuk menggoyang akidah umat Islam. Seluruh bagian dalam buku dari cover depan sampai penutupnya sarat dengan penghujatan ajaran Islam manipulasi sejarah dan pemutarbalikan ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Sampul depan, di atas judul “Isa Almasih di dalam Al-Qur’an dan Hadits” dipampang kaligrafi surat Az Zukhruf 61 “wattabi’uuni haadzaa shiraatum mustaqiim” (ikutilah aku, inilah jalan yang lurus). Di bawah ayat ini, dipajang gambar Yesus sedang berdiri menginjak-injak kitab suci. Penginjil yang menamakan dirinya (nama alias) Abd.Yadi, hanya berani berbuat, tidak mau bertanggung jawab. Karena dalam buku putihnya, dia tidak berani mencantumkan nama aslinya, nama penerbit dan alamat jelasnya. Seharusnya, jika dia meyakini kebenaran tulisannya, dia harus bersikap gentleman dan jangan main lempar batu sembunyi tangan.

Tugas Pemimpin (Imam) Negara
Dari rangkaian penodaan terhadap Al-Qur’an yang dilakukan oleh para misionaris tadi, tampak bahwa dibuatnya tiruan Al-Qur’an, pengutipan ayat pada cover buku Kristen, serta pelesetan ayat untuk misi tersebut merupakan satu kesatuan mata rantai untuk menghancurkan tegaknya Islam di muka bumi. Karena itu, sudah selayaknya kaum Muslim menyadari bahwa upaya untuk menghadang tegaknya Islam dan upaya mengembalikan mereka kepada kekufuran terus berlangsung hingga detik ini. Selain itu, upaya ‘halus’ memurtadkan kaum Muslim dengan cara memalsukan dan me lecehkan Al-Qur`an merupakan kemungkaran. Untuk menghadapi kemungkaran itu, Rasulullah SAW menyatakan:
“Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka ubahlah dengan kekuatan; jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisan; dan jika tidak mampu maka ubahlah dengan hati (tidak setuju dengan kemungkaran tersebut). Itu adalah selemah-lemahnya iman” (HR Ashabus-Sunan). Hadits itu berlaku umum bagi siapapun. Namun, sebenarnya dalam syariat Islam, yang pertama kali harus bertanggungjawab atas persoalan ini adalah penguasa. Rasulullah saw. menegaskan: “Pemimpin (Imam) itu adalah penggembala, dan dialah yang bertanggungjawab atas rakyat yang digembalakannya.” Dalam hadits ini jelas bahwa penguasalah yang wajib memelihara dan menjaga rakyatnya dalam segala hal, termasuk dalam hal akidahnya.

http://swaramuslim.net/ISLAMKRISTEN/more.php?id=1962_0_7_9_M

Melepaskan Belenggu Kebiasaan: Salah Satu Tujuan Puasa

Al-Hajjaj bin Yusuf (661-714 M), salah seorang pemimpin perang kenamaan Dinasti Umayyah yang melempar Ka’bah dengan manjaniq (meriam-meriam batu), pada suatu hari yang terik meminta kepada pengawalnya agar mengajak seorang “tamu” bersantap siang dengannya. Seorang penggembala yang tinggal di pegunungan menjadi tamunya dan terjadilah dialog berikut :

“Mari kita makan bersama,” ajak Al-Hajjaj. “Aku telah diundang oleh yang lebih mulia dari tuan dan telah kupenuhi undangan itu,” kata si penggembala.
“Siapakah gerangan yang mengundangmu?”. “Tuhan seru sekalian alam, hari ini aku berpuasa.” “Apakah Anda berpuasa pada hari yang terik menyengat ini?”
“Ya. Aku bahkan berpuasa pada hari-hari yang lebih terik.”
“Ayolah kita makan bersama dan besok Anda dapat berpuasa.”
“Apabila kau berbuka hari ini, apakah tuan dapat menjamin usiaku berlanjut hing ga esok sehingga aku dapat berpuasa?” katanya seraya menyunggingkan senyum .
“Tentu saja tidak.” “kalau demikian mengapa tuan meminta sesuatu pada hari ini dan menjanjikan untuk memberikan pada hari esok, sedangkan hari esok bukan berada di tangan tuan?”. Setelah berpikir sejenak, Al-Hajjaj mengajak lagi, ” Ayolah kawan, makanlah bersamaku, makanan yang dihidangkan sungguh lezat.”
Sambil berdiri untuk meninggalkan Al-Hajjaj, si penggembala menolaknya lagi, “Demi Tuhan, yang melezatkannya bukan juru masak tuan, bukan pula jenis makanannya, yang melezakannya adalah afiat (kesehatan ruhani dan jasmani).”

Dialog diatas mengambarkan sebagian dari hasil yang diperoleh seseorang yang berpuasa, yaitu berupa kemampuan untuk mengendalikan diri, menahan rayuan, serta kesadaran akan kehadiran Tuhan pada setiap saat. Manusia tercipta dari Ruh Ilahi dan debu tanah. Potensi dan daya manusia betapapun dinilai hebat , namun terbatas sehingga apabila perhatian dan kegiatannya telah tertuju secara berlebihan ke satu arah – ke arah debu tanah, misalnya – maka akibat keterbatasan dan pemunahan secara berlebihan tersebut, ia tidak memeiliki daya lagi yang cukup untuk digunakan bagi kegiatan dalam bidang-bidang penalaran dan kejiwaan. Dari sisi lain, kehidupan manusia sangat dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaannya. Apabila ia telah terbiasa dengan pemenuhan kebutuhan ‘faali’-nya secara berlebihan, maka, walaupun ia masih memiliki sisa daya, ia akan mengalami kesulitan yang tidak sedikit guna mengarahkan sisa daya tersebut kedalam hal-hal yang tidak sejalan dengan kebiasaannya. Dengan demikian, membebaskan manusia dari belenggu kebiasaan dan keterikatan kepadanya, merupakan suatu hal yang mutlak dan hal ini merupakan salah satu tujuan dari puasa, baik dalam kebiasaan makan, minum – dengan kadar dan jam-jam tertentu – maupun dalam kebiasaan jam-jam tidur, bangun bekerja, dan sebagainya.

(sumber : “Lentera Hati”, Kisah dan Hikmah Kehidupan”, M. Quraish Shihab, Penerbin Mizan, Maret 1995).

http://www.myquran.com/mutiarakalbu/phqs006.htm

note : artikel di atas telah dimuat dalam Labbaik edisi no.008/th.01/Syawwal – DzulQoidah 1425H/2005M


Beban Sejarah Umat Islam Indonesia

April 4, 2006

(Oleh H. USEP ROMLI, H.M.)

UMAT Islam Indonesia menanggung beban sejarah amat berat. Berupa citra atau gambaran negatif, yang berkembang sejak zaman Kolonial, hingga sekarang. Pemerintah kolonial Belanda (1596-1942) menganggap umat Islam sebagai pemberontak, ekstre mis, sekaligus kolot dan fanatik. Hal ini disebabkan perlawanan yang muncul ter hadap penjajahan Belanda, sebagian besar dari kalangan umat Islam. Mulai dari yang berskala besar, seperti Sultan Agung Mataram (1628-1629), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Padri (1831), Perang Aceh (1881), hingga yang berskala lokal setingkat Bagus Rangin di Cirebon, Haji Wasid di Banten, Haji Hasan Cimareme Garut, Antasari di Kalimantan, Hasanuddin di Makassar, dan lain-lain. Semua dipelopori tokoh-tokoh Islam, melibatkan institusi Islam (sosok kiai dan lembaga pesantren).

Zaman penjajahan Jepang (1942-1945), sama saja. Salah satu perlawanan legendaris terhadap Jepang, dilakukan oleh Kiai Zainal Mustofa dan para santrinya di Pesan tren Sukamanah, Singaparna, Tasikmalaya. Ketika Kolonialis-Imperialis Belanda mencoba kembali bercokol di Indonesia (1945-1950), umat Islam yang bertekad mempertahankan kemerdekaan, membentuk barisan-barisan perlawanan “Sabilillah” dan “Hizbullah”. Sebelum berangkat ke garis depan, para anggota “Sabilillah” dan “Hizbullah” yang hanya bersenjatakan bambu runcing dan sama sekali tidak memiliki pengalaman tempur, meminta restu para kiai di pesantren-pesantren. Almarhum K.H. Saifuddin Zuhri, dalam bukunya Berangkat dari Pesantren (1986), mengisahkan, ribuan anggota lasykar “Sabilillah” dan “Hizbullah” dari Banyumas, Kedu, Purwokerto, dan sekitarnya, berbondong-bondong datang ke pesantren Parakan, Magelang. Meminta berkah dari Kiai Subeki, seorang ulama sepuh termasyhur berusia 90 tahun.

Pada pertempuran “10 November 1945” di Surabaya, tokoh pejuang Bung Tomo membakar pratiotisme rakyat dengan seruan “Allahu Akbar”. Pada pertempuran “Hari Pahlawan” itu, Jenderal Mansergh, panglima pasukan sekutu asal Inggris, yang mencoba akan menyerahkan kembali Indonesia kepada penjajah Belanda, tewas terbunuh. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, mendapat dukungan diplomatik dari negara-negara Arab. Termasuk dari Mufti Besar Palestina, Syeikh Amin Al-Hussaini. Padahal waktu itu, Palestina sedang menghadapi masalah yang sama dengan Indonesia. Negaranya diserahkan oleh Inggris kepada orang-orang Yahudi, untuk dijadikan negara Israel (14 Mei 1948).
Usai penyerahan kedaulatan (1950), pemerintah dan rakyat Indonesia masih harus menghadapi pemberontakan bersenjata. Beberapa daerah ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di ujung timur berkobar pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) pimpinan Dr.Soumokil, yang didukung diam-diam oleh Belanda dan pasukan Letkol Andi Azis di Makassar. Pemberontakan ini dapat ditumpas (1951).
Di Kalimantan Selatan, timbul pemberontakan Ibnu Hajar, yang segera dapat dipadamkan. Di kawasan barat, terutama Jawa Barat, Sekarmaji Marijan (SM) Kartosuwiryo memproklamasikan “Negara Islam Indonesia” (NII) tanggal 7 Agustus 1949. Seluruh Jawa Barat dianggap wilayah “Darul Islam”. Memiliki kekuatan “Tentara Islam Indonesia” (TII), yang cukup terorganisasi, “NII” Kartosuwiryo mampu bertahan hingga 13 tahun. Baru berakhir Juni 1962 dengan tertangkapnya Kartosuwiryo oleh Pasukan Kujang II/328 Siliwangi, pimpinan Letda Suhanda, di Gunung Rakutak, Kecamatan Pacet Majalaya, Kabupaten Bandung.

Pemberontakan-pemberontakan lain terjadi di Aceh, pimpinan Daud Beureuh, dan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan. Keduanya mempunyai hubungan organisatoris dengan NII/DI/TII Kartosuwiryo. Di Sumatera Barat, 15 Februari 1958, berdiri Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang melibatkan beberapa tokoh Islam dari Partai Masyumi, antara lain Moh. Natsir, dan Syafruddin Prawiranegara, serta tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI) Sumitro Joyohadikusumo. PRRI mendapat dukungan politik dan militer dari Letkol D.J. Somba, Komandan Kodam Sulawesi Utara, dan perwira-perwira Kodam Sulut lainnya, seperti Letkol HNV Sumual, dan Mayor D. unturambi.

Semua pemberontakan tersebut dapat ditumpas pada awal tahun 1960-an. Walaupun yang memberontak mayoritas mengatasnamakan Islam, tapi yang menjadi korban terbesar adalah umat Islam. Di Jawa Barat, DI/TII membakari rumah, masjid, pesantren. Membunuh para kiai, santri dan masyarakat yang notabene beragama Islam. Orang-orang pedesaan yang rata-rata taat beragama (Islam), hidup dalam kesulitan amat sangat. Oleh pihak tentara dicurigai sebagai anggota atau simpatisan DI/TII karena sama-sama Islam. Oleh DI/TII disangka mendukung TNI karena tidak mau ikut “naik” ke gunung. Di tengah tekanan dari kedua belah pihak, masyarakat pedesaan hidup dalam kesengsaraan lahir batin. Tapi mereka tetap tabah dan tak (mampu) menyalahkan siapa-siapa, kecuali menggerutu di belakang.

Pemberontakan DI/TII Jawa Barat, yang meluas ke Aceh, Sumatra Barat, dan Sulawesi Selatan, serta bertahan hingga lebih satu dasawarsa (1949-1962), menimbulkan korban harta dan jiwa tidak terhitung, menjadi stigma tersendiri bagi umat Islam Indonesia. DI/TII dianggap sebagai satu ideologi yang harus terus dicurigai. Pada masa Orde Lama di bawah Presiden Soekarno (1945-1966), Partai Komunis Indonesia (PKI) mendapat angin segar di puncak kekuasaan. Sehingga PKI leluasa melakukan manuver-manuver untuk menyudutkan umat Islam. Apalagi setelah berhasil mendesak Presiden Soekarno untuk membubarkan Masyumi dan PSI (17 Agustus 1960). Tokoh-tokoh Masyumi dan PSI langsung ditangkapi dimasukkan ke penjara tanpa diadili. Jangankan tokoh-tokoh Masyumi yang langsung terlibat PRRI, seperti Moh. Natsir dan Syafruddin Prawiranegara, tokoh-tokoh Masyumi yang tidak terlibat pun — bahkan mengecam pemberontakan — seperti Buya Hamka, K.H.E.Z.Muttaqien, K.H. Isa Ansyori, Moh.Roem, Prawoto Mangkusasmito, Sumarso Sumarsono, dll. ikut dijebloskan. Ikut pula masuk penjara, tokoh Islam non-Masyumi K.H.Imron Rosyadi (NU) dan tokoh pers nasional Mochtar Lubis. Mereka dikerangkeng karena dianggap menentang kebijakan Presiden Soekarno yang cenderung pro komunis.

Setelah rezim Orde Lama dan Presiden Soekarno tersingkir akibat dampak pemberontakan G-30-S/PKI, stigma tersebut tidak ikut lenyap, bahkan semakin menguat. Rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto (1966-1998), sangat represif terhadap Islam dan umat Islam. Heru Cahyono, penulis buku “Peranan Ulama dalam Golkar, 1971-1980, dari Pemilu Sampai Malari” (Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1992), mengutip pendapat Kenneth E.Ward, menyatakan, rezim Orde Baru (yang dimotori Jenderal Ali Moertopo, Kepala Opsus/Aspri Presiden) memandang Islam melulu identik dengan “Darul Islam” sehingga cenderung hendak menghancurkan Islam. Maka tidak mengherankan, jika kemudian kebijaksanaan politik pemerintah Orde Baru terhadap Islam, amat merugikan umat Islam sendiri, karena kelompok Ali Moertopo yang memegang kendali begitu besar dalam pendekatan kepada umat Islam, berintikan tokoh-tokoh yang tidak Islami bahkan diduga cenderung hendak memusuhi umat Islam (hlm. 130-131). Heru Cahyono mengungkapkan, Presiden Soeharto dan rezimnya, menyadari, bahwa kemenangan mereka dapat tercapai antara lain berkat dukungan tokoh-tokoh umat Islam. Termasuk dari ormas-ormas simpatisan Masyumi. Tapi ketika muncul tuntutan dari tokoh-tokoh Masyumi yang baru bebas dari tahanan rezim Orde Lama, untuk merehabilitasi partainya, Soeharto tegas menolak dengan alasan “yuridis, ketatanegaraan dan psikologis” (hal. 76). Bahkan Soeharto dengan nada agak marah, menegaskan, ia menolak setiap teror keagamaan dan akan menindak setiap usaha eksploitasi masalah agama untuk maksud-maksud kegiatan politik yang tidak pada tempatnya. Dalam kata lain, pemerintah Orde Baru yang didominasi militer tidak menyukai kebangkitan politik Islam (hlm. 74-75).

Maka dapat dimengerti, jika selama pemerintahan Orde Baru, tokoh-tokoh dan umat Islam yang dinilai “keras” langsung dibungkam. Semua tokoh eks Masyumi terkena persona nongrata di segala bidang karena dianggap selalu memperjuangkan “Piagam Jakarta” dan negara Islam, di tengah ketekunan pemerintah Orde Baru memasyara katkan UUD 1945 dan Pancasila.
Untuk memperlemah posisi umat Islam, sekaligus mendiskreditkan Islam, lembaga Opsus Ali Moertopo, di satu pihak bergerak mengumpulkan tokoh-tokoh mantan DI/ TII dan menghidupkan organisasi Gabungan Usaha Pendidikan Pesantren Indonesia (GUPPI). Di pihak lain merekrut tokoh-tokoh Nasrani dan Cina, seperti Harry Tjan Silalahi, Liem Bian Khoen (Sofyan Wanandi), Liem Bian Kie (Yusuf Wanandi), Murdopo, dan dihimpun dalam lembaga The Center for Strategic and International Studies (CSIS).

Di dalam GUPPI — demikian Harry Cahyono — bercokol orang-orang kepercayaan Ali Moertopo dan Soejono Humardani (Aspri Presiden). Antara lain Ramadi. Sedangkan toko-tokoh eks DI/TII mendapat binaan tersendiri. Kedua kelompok yang dikendalikan Ali Moertopo itu, diterjunkan untuk mengacaukan gerakan mahasiswa anti Orde Baru awal Januari 1974. Sehingga demonstrasi mahasiswa anti Orde Baru dan anti modal asing Jepang, berubah menjadi huru-hara malapetaka yang terkenal dengan sebutan peristiwa “Malari” (15 Januari 1974). Banyak tokoh mahasiswa ditangkapi sehubungan dengan peristiwa “Malari”. Beberapa surat kabar dan majalah (Indonesia Raya, Nusantara, Pedoman, Express, Abadi), dibredel. Tokoh GUPPI Ramadi dan beberapa kawannya, serta beberapa tokoh eks DI/TII, ikut pula ditangkap. Menurut Harry Cahyono, para mahasiswa tidak menyadari jika penangkapan Ramadi cs. dan tokoh-tokoh eks DI/TII akibat keterlibatan mereka dalam “Malari”.

Dalam kata lain, untuk menghancurkan gerakan mahasiswa yang tulus dan murni, konspirasi rezim Orde Baru di bawah penggalangan Ali Moertopo, menggunakan organisa si Islam GUPPI dan eks DI/TII. Lebih jauh lagi, eks DI/TII binaan Opsus dijerumuskan pada skenario mendirikan “negara Islam” dan teror “Komando Jihad” (1976-1982). Setelah wacana dan gerakan mereka berkembang, lalu ditangkapi dan diajukan ke meja hijau, setiap menjelang pemilu. Tujuannya adalah melemahkan kekuatan politik umat Islam (terutama simpatisan PPP) untuk kemenangan mutlak Golkar yang didukung pemerintah. Sekaligus mempertebal trauma, stigma, dan kebencian terhadap Islam.

Teror bom Bali, Marriot, dan baru-baru ini di depan Kedubes Australia, dikait-kaitkan dengan label Islam. Dengan “Jamaah Islamiyah”, “Al-Qaeda”, atau entah apa lagi. Padahal belum tentu umat Islam terlibat langsung di sana, dan belum tentu dasar perjuangan mereka benar-benar menjunjung tinggi kaidah Islam secara murni dan konsekuen. Jangan-jangan mereka hanya semacam orang-orang binaan Opsus dulu, seperti yang dialami Ramadi cs. dan eks tokoh-tokoh DI/TII pada peristiwa “Malari” Januari 1974. Mereka hanya pelaksana-pelaksana kecil dari sebuah skenario besar dan sutradara yang ahli dan sangat membenci Islam.

Pemberontakan DI/TII sendiri, yang memiliki qanun asasi (sumber hukum) dari Al quran dan Sunnah Rasulullah saw., dengan qanun syar’i (UUD) berupa adaptasi dari kitab fiqh Taqrib karya Syekh Abi Suja (ulama ahli fiqh Mazhab Syafi’i), dalam pelaksanaannya justru mengorbankan harta dan nyawa umat Islam. Apalagi pemberon takan yang dilatarbelakangi ideologi non-Islam, seperti RMS, baik era Soumokil tahun 1950-an, maupun era Alex Manuputty tahun 1990-an.
Perlakuan penguasa Orde Baru terhadap upaya politik umat Islam sangat berlebihan. Peristiwa-peristiwa Tanjung Priok (1984), Talangsari Lampung (1989), Haur Koneng (1996), merupakan bukti nyata. Tembak dan bunuh dijadikan pilihan utama dan pertama. Hal serupa menimpa individu-individu yang memperjuangkan aspirasi Islam. Abubakar Baasyir harus terus mendekam di penjara dengan tuduhan mendalangi teror bom Bali dan JW Marriot (kemungkinan juga bom Kuningan), walaupun di pengadilan hanya terbukti melanggar hukun imigrasi dan dikenai hukumam 4 bulan penjara. Sedangkan Alex Manuputty yang sudah divonis 4 tahun penjara karena terbukti berbuat makar dan kasasinya ditolak Mahkamah Agung, malah leluasa pergi ke Amerika Serikat.
Ini merupakan “tradisi” dari zaman kejayaan Opsus era Orde Baru dulu, ketika tokoh-tokoh Islam dijerumuskan ke dalam teror, huru-hara, dan makar yang dirancang sendiri oleh Opsus, sementara tokoh-tokoh non-Islam mendapat fasilitas melimpah di CSIS dan dunia usaha. “Tradisi” yang tampaknya dipertahankan, bahkan dipertegas, oleh rezim “Reformasi”. Umat Islam Indonesia menanggung beban sejarah amat berat. Dibantai habis oleh pemerintah kolonial Belanda dan Jepang, ditekan oleh rezim Orde Lama Presiden Soekarno, dicurigai dan diperalat oleh rezim Orde Baru Soeharto, dan dijadikan kambing hitam teror bom oleh penguasa era “Reformasi”. Sampai kapan ?

***

(Penulis wartawan senior “Pikiran Rakyat” Bandung – Pikiran Rakyat Cyber Media)
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0904/18/0802.htm
nore : artikel di atas telah dimuat dalam Labbaik edisi no.016/th.02/Jumada Al Tsani-Rajab 1426H/2005M


Mengabdi Total Lewat Perpustakaan MABULIR

April 4, 2006

Jam belum menunjukkan pukul 10.30 saat Dauzan Farook (79), pemilik perpustakaan Mabulir -yang tengah duduk di sofa usang di ruang tamu yang menjadi satu dengan perpustakaannya-menyapa kami. Ia baru saja bangun dari tidurnya. Senyum tuanya mengembang. “Maaf, tadi sudah kemari ya ?” sapanya. Pria yang kerap dipanggil Pak Farook atau Pak Dauzan Farook ini memang terbiasa tidur kembali setelah men jalankan ibadah shalat subuh. Namun, sebelum tidur kembali, ia biasa terlebih du lu mempersiapkan buku-buku lama yang akan diperbaiki karyawannya. Maklum, usia lanjut menuntutnya untuk cukup istirahat. Meski tidak terlalu berat, pekerjaan nya menyita waktu dan tenaga. Menjelang siang, ia kembali bergelut dengan buku-buku koleksinya yang mencapai 5.000 buah lebih. Belum lagi jika ditambah dengan majalah yang jumlahnya hampir sama. Sore harinya, seusai shalat ashar, ia kembali disibukkan dengan berkeli ling, mengunjungi peminjam yang tersebar di sekitar kota Yogyakarta. Aktivitas nya berlanjut pada malam hari, saat Dauzan biasa pergi ke pasar buku-buku bekas untuk membeli buku-buku guna menambah koleksinya. Aktivitas Dauzan Farook memang tidak bisa dilepaskan dari perpustakaan. Rumahnya yang berada di sebuah gang sempit di Kampung Kauman, kota Yogyakarta, mudah dikenali. Dibandingkan dengan rumah-rumah yang lain, rumahnya kelihatan paling mencolok. Di dindingnya terpasang majalah dinding dan juga nama Mabulir, singkatan dari Majalah dan Buku Bergilir.

Di perpustakaan itu memang peminjam dapat memilih, membaca, sekaligus meminjam buku untuk dibawa pulang secara bergiliran. Semuanya tanpa dipungut biaya. “Saya tidak menarik sepeser pun dana dari peminjam. Walaupun saya selalu defisit setiap bulan untuk membiayai operasional perpustakaan ini,” jelasnya.Sebaliknya, peminjam hanya diwajibkan menjaga koleksi buku-buku tersebut melalui doktrin yang ia berikan dalam label “Amanat Umat”, yang berarti “dari umat, oleh umat, dan untuk umat”. Apabila peminjam menghilangkan atau merusakkan buku, berarti mereka telah merugikan orang banyak (umat). Keyakinan seperti itu terus dijaganya hingga saat ini.“Kami juga tidak menuntut mereka untuk mengembalikan. Berdasar kesadaran, biasanya mereka sendiri yang menggantinya dengan buku lain apabila ada yang hilang. Kalau mereka susah mengembalikan, saya yang harus datang mengambil ke tempat tinggal mereka,” tambahnya. Upaya mendatangi peminjam bukan saja untuk mengambil buku, melainkan juga memin jami. Ia rela berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain, dengan tujuan peminjam dapat memperoleh buku untuk dibaca. Sebagian besar peminjam buku di Perpustakaan Mabulir adalah orang dewasa. Namun, tidak sedikit pula anak-anak muda. Mereka umumnya remaja masjid, penghuni asrama, masyarakat umum, hingga tukang becak sekalipun. Untuk menjaga koleksinya, mulai beberapa tahun terakhir Perpusta kaan Mabulir tidak lagi melayani perorangan. Bagi peminjam baru diharuskan membuat kelompok minimal lima orang. Salah satu anggotanya akan menjadi koordinator yang nantinya akan memfasilitasi peminjaman buku untuk anggota kelompok yang lain. Menurut dia, tidak semua kelompok akan lulus tes. Biasanya, sebelum ditetapkan lebih jauh, ia sendiri yang akan menguji. Dua kali berturut-turut, kelompok itu hanya akan dipinjami tabloid. Baru, setelah keseriusannya terlihat, kelompok tersebut akan dipinjami buku.

UNTUK menjalankan operasional sehari-hari, sejak tiga tahun terakhir ia dibantu empat orang karyawan. Mereka bertugas mulai dari menjaga perpustakaan, melayani peminjam, memberi sampul, memperbaiki buku yang rusak, hingga menjadi pengawalnya saat mengunjungi para peminjam. Karyawan-karyawan yang bekerja di Perpusta kaan Mabulir tidak bekerja secara cuma-cuma. Mereka juga memdapat gaji Rp 10.000 per hari. Dari mana dana untuk menggaji karyawan didapat, sementara tak ada pemasukan dari pelanggan perpustakaan ?

Rupanya Dauzan rela untuk menggunakan uang pensiun. Bahkan, tidak jarang biaya operasional yang harus dikeluarkan jauh lebih besar dari uang pensiun yang ia terima. Menurut Dauzan, biaya operasional untuk merawat buku setiap hari mencapai Rp 5.000. “Itu belum termasuk biaya ojek setiap harinya. Untuk berkeliling dan menemui pelanggan, saya selalu memakai ojek langganan,” jelasnya. Untuk menutup kekurangan itulah, ia mengaku harus menggunakan uang simpanannya. Tak heran kalau setiap bulan defisit bisa mencapai lebih dari Rp 1.000.000 lebih. “Banyak orang bilang, kekurangan itu sebenarnya bisa sedikit saya tutup dengan bayaran pinjaman buku. Namun saya tidak mau. Saya ingin memberi contoh bahwa budaya pengabdian dalam bidang pendidikan itu dilakukan dengan sepenuh hati,” ungkapnya. Sedangkan untuk membeli buku, ia memanfaatkan uang yang diperoleh dari sumbangan orang lain. Selama ini, sumbangan dari peminjam dan orang yang mengenalnya kerap kali mengalir. Selain itu, ia juga mendapatkan buku dari penerbit-penerbit di Yogyakarta. Ada beberapa penerbit yang setia memberikan buku kepada Perpustakaan Mabulir. Salah satunya adalah Penerbit Pustaka Pelajar yang selalu mengiriminya buku setiap kali peluncuran buku baru. “Tidak semuanya buku diberi oleh penerbit. Kita juga kerap kali membeli dari mereka. Tentunya dengan harga yang murah, atau beli yang reject-an (maksudnya yang tidak layak jual),” jelasnya. Menurut dia, dari 5.000 buku yang ada di perpustakaannya, sebagian besar merupakan buku-buku agama. Sebagian lainnya buku-buku ilmu pengetahuan, sejarah, serta aneka kamus bahasa asing. Jenis buku-buku yang menjadi koleksi Perpustakaan Mabulir bukan atas kemauan sendiri, melainkan mengikuti kemauan pasar. Untuk buku-buku yang lama, seperti buku mengenai agama, ia sengaja menyisipkan suplemen berupa buku lain yang lebih kecil. Sedangkan buku-buku yang tidak terpakai, ia berikan pada orang lain, termasuk masjid-masjid yang belum memiliki perpustakaan. Tidak jarang, ia memberikan ke masyarakat di pedesaan melalui mahasiswa yang tengah mengikuti kuliah kerja nyata (KKN).

DAUZAN Farook lahir tahun 1925 di Kampung Kauman Yogyakarta. Kecintaannya terha dap buku mulai ada sejak kecil. Bapaknya, H Muhammad Bajuri, menjadi pengelola Taman Pustaka Muhammadiyah atau Perpustakaan Muhammadiyah.

Ketika remaja, ia juga turut berjuang. Dirinya pernah bergabung dengan para gerilyawan dalam pasukan Sub Wehrkreise (SWK) 101. Ia juga terlibat kontak fisik dalam penyerbuan gudang senjata Jepang di Kota Baru 6 Juli 1947. Bahkan, Dauzan Farook juga terlibat dalam Serangan Oemoem 1 Maret 1949. “Saya dulu juga tergabung dalam Hisbullah yang ditugaskan di Kota Baru, sebuah laskar pejuang dari kalangan Islam. Kemudian saya terekrut dan menjadi tentara pelajar. Saya sendiri belajar cara berperang justru dari Jepang, saat itu niat Jepang ke Indonesia masih baik,” jelasnya. Sejalan dengan perkembangan waktu, muncul keinginan dari dirinya untuk melanjutkan usaha batik orangtuanya. Akhirnya ia memilih keluar dari ketentaraan, saat itu pangkatnya masih letnan dua. Ketika usaha batik orangtuanya hancur tahun 1957, ia memutuskan untuk berdagang emas dan menjadi distributor buku. Ia kemudian berbuat sesuatu sesuai dengan potensinya. Sejak tahun 1993, ia mulai membuka Perpustakaan Mabulir.

Semua ini berawal dari kesadarannya untuk memanfaatkan uang pensiun veteran sebesar Rp 500.000 per bulan untuk kemajuan negara. “Saya seperti mendapat amanah besar untuk memakai uang itu sebaik-baiknya,” ujarnya. Dengan sistem multi-level reading, ia berharap buku yang ia pinjamkan dapat dibaca banyak orang. Saat ini, jumlah kelompok bacaan yang dimilikinya mencapai 100-an buah, dengan masing-masing anggota kelompok mencapai 4-20 orang. Mabulir memiliki perwakilan di lima kota, yaitu Jakarta, Solo, Brebes, Purworejo, dan Ma gelang. Para pemilik cabang tersebut sebelumnya adalah pelanggannya. Usianya yang semakin tua, membuatnya tidak kuat lagi membaca buku-buku yang ada. Alasan utamanya tidak memiliki kesempatan untuk membaca buku tebal. Kalaupun ada ia hanya membaca pengantar dan sinopsisnya saja. Ketika ditanya siapa yang akan meneruskan perpustakaan itu, sementara tak satu pun dari delapan anaknya yang berminat untuk meneruskan, Dauzan tercenung. “Saya hanya bisa menyebarkan ‘virus‘ untuk mengangkat minat baca masyarakat dengan sistem perpustakaan keliling. “Entah siapa yang meneruskan, bisa siapa saja”, katanya . usia sudah senja, namun dedikasinya luar biasa…

http://www.penerbit.net/

Siapa Berani Bayar Mahal

Di jaman khalifah Umar bin Khattab RA, kota Madinah pernah dilanda musim pacek lik. Datanglah kafilah dari negeri Syam dengan 1000 onta membawa bahan makanan untuk dijual kepada sahabat Ustman bin Affan RA. Dibelilah barang itu olehnya. Menyusul setelah itu banyak pedagang yang berminat mau membeli barang tersebut dari beliau untuk dijual kembali dengan harga tinggi agar mendapat keuntungan yang besar. “Berapa kau berani bayar barangku,” tanya Ustman bin Affan. “Kubayar dengan keuntungan lima kali lipat,” jawab mereka. “Oh, saya masih rugi.” “Aku berani kasih keuntungan kepadamu sepuluh kali lipat,” jawab yang lain. “Masih rugi.” Jawab Ustman bin Affan. “Tak ada pedagang lain yang berani beri keuntungan lebih dari itu,” kata orang itu. “Ada,” jawab beliau. “Siapa?.” “Allah.” Lalu beliau Ustman bin Affan RA menukil surat Al-Baqaroh ayat 261 bahwa mereka yang menafkahkan harta di jalan Allah akan dibalasnya oleh-Nya dengan 700 kali lipat. “Adakah di antara kalian berani memberi keuntungan lebih dari itu?,” tanya beliau. Tentu semua pedagang hanya tercengang mendengar jawaban beliau RA. Mereka tak berani menawarnya. “Saksikan kalian para pedagang, semua barang ini kami sedekahkan kepada fakir miskin, sebab Dia-lah (Allah) yang berani membayar mahal.”

http://www.almuhajir.net/article.php?fn=kisahhikmah1

Hati Yang Tersentuh

Karena wataknya yang tegas dan keras, Umar bin Khatthab dijuluki Al-Faruq, yang berarti pembeda antara yang haq dan yang batil. Tubuh beliau gagah dan kekar, suaranya lantang, dengan pedang selalu disandangnya. Suatu hari beliau naik kuda. Tiba-tiba ia mendengar seseorang membaca Al-Quran surat An-Thuur ayat 7-8, maka jatuhlah beliau dari kudanya. Beliau pingsan. Beberapa Sahabat lalu menggotong beliau ke rumahnya. Sejak itu, hampir sebulan beliau tak pernah keluar dari rumah. Apa sebenarnya yang terjadi ?. Meski berhati keras, rupanya Sayyidina Umar sangat halus perasaannya. Hatinya peka, gampang tersentuh dan melelehkan air mata. Setiap hari, beliau mencatat semua amalannya dalam buku harian. Hari Jum’at baru beliau buka. Bila beliau membaca catatan tentang sesuatu amalan yang tidak diridhai Allah, maka dipukullah dirinya dengan cemeti sambil berkata, “Apa demikian ini perbuatanku ?.” Rupanya ayat yang membuat Sayyidina Umar pingsan adalah tentang azab Tuhan, “Sesungguhnya azab Tuhanmu pasti terjadi, tidak seorangpun yang dapat menolaknya.”

http://www.almuhajir.net/article.php?fn=kisahhikmah9

Tuntutlah ilmu, tetapi tidak melupakan ibadah, dan kerjakanlah ibadah, tetapi tidak melupakan ilmu – (Hasan al-Bashri)

nore : artikel di atas telah dimuat dalam Labbaik edisi no.016/th.02/Jumada Al Tsani-Rajab 1426H/2005M